Rena berkali-kali mengayunkan kipasnya. Disini panas, padahal sepertinya AC dalam ruangan ini menyala, belum lagi tiga kipas angis disebar di sekitar mereka juga menyala. Mungkin karena Rena tengah memakai make up tebal dan kebaya, makanya efek panasnya tetap terasa. Bersyukur Ega tadi mengingatkan -- sekaligus memaksa -- Rena untuk membawa kipas, sekedar untuk berjaga-jaga dan ternyata itu berguna. Di depan sana, prosesi lamaran Edgar sudah sampai pada bagian dimana perwakilan calon mempelai wanita menjawab maksud kedatangan dari calon mempelai pria. Dari sini, Rena bisa melihat Edgar berusaha tetap terlihat santai. Kemudian pandangan Rena tertuju pada sosok Sitta -- calon kakak iparnya. Jujur saja Rena baru pertama kali melihat Sitta. Karena sebelumnya saat Edgar membawa Sitta ke rumah, Rena sedang tidak tinggal di rumah.
"Abang kok bisa dapet calon istri cantik gitu sih?" bisik Rena pelan pada Ega yang duduk di sampingnya -- gadis itu mulai membuka kotak perjulidan rupanya.
Mata Ega yang sebelumnya terpejam, kini terbuka, berdehem sebelum menyahut, "Tampang Abang kan lumayan...gak jelek-jelek amatlah, ya wajar aja."
Diam-diam Rena mengamati raut wajah Ega, pelipis kakaknya itu mulai berkeringat. Sebenarnya Rena sedikit khawatir tapi dia enggan bertanya. Ah mungkin Ega hanya kepanasan, sama sepertinya. Maka dengan gerakan tidak terlalu kentara dia mulai mengarahkan kipasnya mendekat pada Ega, memastikan sang kakak terkena angin yang berasal dari kipasnya juga.
"Iya sih, Abang lumayan ganteng. Tinggi pula," sahut Rena.
"Itu 'tinggi pula' maksudnya apa?" mendadak Ega merasa tersindir. Bagaimana ya, tinggi badannya memang lebih pendek dari Edgar, selisih 6cm.
"Ya gak ada maksud, cuma bilang abang tinggi."
"Nyindir."
"Situ aja yang merasa kesindir."
Ega berdecak, malas menyahut.
Prosesi lamaran terus berlanjut, kini waktunya proses perkenalan dari pihak laki-laki dan perempuan. Sepertinya kali ini Edgar dan Sitta memilih melakukan prosesi ini secara informal, sekaligus disatukan dengan kegiatan semi standing party. Kenapa semi? Karena masih ada kursi-kursi di sana. Lebih tepatnya sebagian kursi yang tadi mereka duduki di acara sebelumnya tidak dibereskan. Kembali ke kegiatan perkenalan informal ini. Jadi perwakilan kedua pihak keluarga tidak memperkenalkan siapa-siapa saja yang hadir, melainkan membiarkan mereka saling berkeliaran sendiri. Dan bebas berkenalan dengan siapapun.
"Deg-degan gila," lapor Edgar begitu dia sudah menemukan kesempatan bergabung dengan kedua saudaranya.
"Masih lamaran juga, belum ijab. Ntar noh ijab, sport jantung dah," sahut Ega.
"Abang dapet calon istri cantik darimana?" kali ini Rena yang bertanya, masih penasaran sepertinya.
"Biro jodoh," sahut Edgar asal, kemudian terkikik bersama Ega.
"Napa? Mau juga? Ntar daftar tuh di biro jodoh. Di profil posenya begini," Ega dengan tidak tahu malu memeragakan pose sok seksi. Tapi kemudian lelaki itu tersadar bahwa mereka ada di tempat umum. Dia menegakkan tubuh dengan cepat dan merubah ekspresi.
"Dih pencitraan," ejek Rena melihat sang kakak merubah pembawaan hanya dalam hitungan detik.
"Pencitraan itu penting lho Ren," Edgar mengamati sekitar sebelum lanjut berbisik, "Apalagi di depan calon mertua."
"Ntar juga ketahuan aslinya," sahut Rena, dalam hati melanjutkan, 'Ketahuan kalo aslinya abang gak sekalem yang mereka kira, judes. Laki tapi judes.'
"Udah sana berbaur sama yang lain," titah Edgar.
"Aku duduk aja ya Bang."
Kedua kakak adik itu serta merta memusatkan perhatian pada si tengah yang baru meminta izin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...