38

544 45 6
                                    

"Dulu...Kak Ega gimana?" Rena bertanya. Alih-alih menjawab pertanyaan Ares tentang bagaimana kabar dan perasaannya saat ini, gadis itu justru bertanya tentang Ega tepat setelah Ares mendudukkan diri di sisi sofa sebelahnya.

"Apanya?" Ares balik bertanya, merasa perlu mengetahui maksud Rena lebih spesifik.

"Kamu sempet bilang, apa yang kuceritain ke kamu minggu lalu tentang aku yang mikirin perasaan orang lain itu dialami juga sama Kak Ega selama hidup. Dia gimana waktu ngalamin kondisi itu?"

Ares masih terdiam, menautkan jari-jarinya dengan tatapan mata yang masih lurus menatap mata Rena. Sadar jika Ares terlihat belum memiliki keinginan menjawab pertanyaannya, Rena kembali berkata.

"Kamu bilang dia ngalamin itu seumur hidup, sampe akhir. Apa dia gak pernah nyoba ngelawan?" Rena menggelengkan kepala. "Ah gak taulah, aku bingung musti ngomong apa."

"Kamu beneran gak tau tentang Bang Ega?" Ares akhirnya bersuara. "Dia gak pernah bilang biar cuma sekali?"

Rena mengerjap, selama ini dia tidak mampu menilai Ega. Terkadang Ega terlihat begitu ceria, terkadang sangat sabar, tapi juga bisa menjadi pemarah, tegas dan disiplin. Dia terlihat hangat di satu waktu namun bisa menjadi sangat pendiam, dingin dan tidak acuh di waktu lain. Ada masa dimana dia menyebalkan dan di masa lain begitu menyenangkan. Lalu Rena baru sadar, dia tidak begitu bisa membaca sang kakak. Terlebih, dia ingat bahwa dulunya dia juga tidak terlalu dekat dengan sang kakak. Apalagi kakaknya juga menjadi satu-satunya saudara yang sempat tidak tinggal serumah dan membuatnya tidak bisa banyak tahu tentang keseharian Ega.

Lalu satu kilasan muncul. Malam itu ketika listrik kawasan rumah mereka padam. Permainan yang Ega ciptakan. Dimana mereka mengatakan tentang perasaan masing-masing. Namun itupun tidak banyak. Tidak cukup banyak untuk membuat Rena tahu apa yang Ega rasakan. Tidak cukup membuatnya mengambil contoh tindakan sang kakak dalam mengatasi masalah hidup.

"Kayaknya dia pernah bilang sesuatu. Tapi bukan masalah sikap gak enakan itu," ujar Rena pelan. "Dia pernah cerita kalo dia iri. Kalo dia juga pengen dipandang dan dihargai. Dia nyoba buat jadi yang paling unggul diantara kami. Dia lakuin ini itu tapi gak ada hasilnya. Terus dia capek sendiri karena akhirnya dia gak dapet apa-apa. Waktu itu kalo gak salah Kak Ega bilang pengen berhenti tapi gak bisa..." perkataan Rena terhenti. Mendadak dia ingat senyum Ega kala itu. Sesuatu yang sempat membuatnya merasa janggal karena senyum itu terlihat seolah tanpa beban. Lalu satu pikiran melintas di otaknya, seperti baru saja mendapatkan benang merah. Dia kembali fokus menatap Ares. "Res, apa Kak Ega gak bisa berhenti karena dia bakal ngerasa gak enak sama yang lain kalo dia berhenti? Maksud aku, akhirnya dia nurutin keinginan orang lain karena ngerasa bersalah kalo lakuin keinginannya sendiri?"

Ares tersenyum getir, lalu mengangguk pelan, "Semacam itu."

"Ceritain Res," pinta Rena.

Kali ini Ares menggeleng ragu, "Aku rasa gak perlu. Secara garis besar kamu benar," biarpun bagi Bang Ega rasanya bisa jadi jauh lebih rumit, lanjut Ares dalam hati. "Toh sekarang itu udah bukan masalah lagi bagi almarhum."

"Tapi...kamu bilang kamu gak bakal biarin aku kayak Kak Ega. Kasih tau aku biar aku gak kayak dia."

"Bukan ranahku Ren."

"Please."

"Kamu lagi maksa?" Ares tersenyum paksa.

"Iya, aku lagi maksa."

"Ren..."

"Res, please."

Keduanya terdiam. Ares tengah mencoba untuk menetralkan emosinya. Dia menahan diri untuk tidak terpancing dengan Rena yang dia rasa sedikit menyebalkan dan terkesan ingin memegang kemudi kegiatan healing kali ini. Juga menahan diri untuk tidak langsung menceritakan tentang penderitaan Ega selama ini. Tidak baik bukan membicarakan seseorang yang sudah tiada.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang