36

852 65 5
                                    

Sebenarnya, diam-diam Edgar sudah menduga bahwa adik pertamanya itu tidak akan bertahan melawan penyakitnya. Ketika pertama kali dokter mengatakan bahwa Ega menderita hepatitis, dirinya masih memiliki keyakinan bahwa Ega akan sembuh. Namun seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan perkataan dokter yang mendiagnosis bahwa Ega menderita sirosis, keyakinannya perlahan memudar. Hingga ketika adiknya itu dinyatakan menderita kanker hati, keyakinannya seolah semakin pupus begitu saja.

Puncaknya, ketika Edgar mengunjungi Ega yang tengah dirawat beberapa hari lalu. Firasat tentang kepergian Ega semakin menguat, 'Ega mungkin akan meninggal, cepat atau lambat.' Itu salah satu pemikiran yang secara otomatis menyeruak dalam benaknya tanpa dia komando.

Secara keseluruhan, dia sudah menduga bahwa adiknya memang akan pergi. Namun bukan berarti Edgar benar-benar siap untuk itu. Ada perasaan yang mengganjal dalam hatinya.

Rasanya seperti mimpi.

Berada di sini, berdiri di rumah tempat mereka dibesarkan. Mengingat dulu Edgar menjadi saksi kehadiran Ega di dunia dan kini dia juga menyaksikan bagaimana proses kepergian Ega kembali kepada Sang Pencipta. Dua puluh sembilan tahun hidup Ega, Edgar menyaksikan sebagian dari perjalanan hidupnya. Bahkan seringkali berada di tempat yang sama selama 1x24 jam. Lalu sekarang tiba-tiba Edgar kehilangan presensi itu. Sosok yang selama dua puluh sembilan tahun ini menjadi salah satu yang mengisi kehidupannya.

Mungkin Edgar memang sudah bersiap, mungkin dia juga sudah melatih diri untuk ikhlas menghadapi kematian sang adik. Tapi bukan berarti dia lupa pada banyak detail yang dia ingat tentang Ega.

Ketika berjalan ke lantai atas, dia seolah melihat bayangan Ega yang keluar masuk kamar. Ketika berjalan ke kamar mandi, dia seolah melihat Ega yang diam-diam membawa ponsel sambil mandi. Ketika berada di dapur, dia seolah melihat Ega berseliweran kesana kemari. Entah memasak sesuatu, membuka pintu kulkas atau mencuci piring bekas makan dengan gerakan malas.

Semuanya tidak bisa hilang begitu saja dari pikiran Edgar. Pria itu sudah terlalu terbiasa. Terbiasa dengan kehadiran Ega dan kini dia harus memulai kebiasaan baru yang berbeda, yaitu terbiasa dengan kehampaan yang ditinggalkan adiknya.

Ada penyesalan yang menghantuinya. Menyesal karena sering beradu argumen dengan Ega saat masih muda. Menyesal karena sempat merasa sakitnya Ega cukup menyusahkan hingga dia lelah mengurus Ega. Atau ketika dia merasa nyaris tidak mampu membayar biaya pengobatan Ega hingga berniat memindahkan Ega ke kamar dengan fasilitas satu tingkat lebih rendah dari biasanya atau menunda terapi Ega -- yang untungnya urung dia lakukan.

Terakhir, menyesal karena pagi tadi sempat sedikit mengabaikan permintaan dari Ratna agar dia segera pulang. Meski dalam hatinya dia sempat berpikir bahwa hal buruk pasti telah terjadi.

"Mas?"

Edgar menoleh, menatap sosok Sitta yang sudah memanggilnya hingga lamunannya buyar.

"Bunda mau pamit pulang dulu," ujar Sitta.

"O iya," Edgar bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan yang sedari beberapa menit lalu dia gunakan untuk beristirahat sejenak. "Kamu gak pulang juga?"

"Gak aku di sini aja, nginep sekalian."

"Ok."

*

Raka membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lelaki itu memejamkan mata, membiarkan sebuah memori menyambutnya begitu matanya terpejam.

"Mungkin emang udah waktunya gue berhenti Bang," ujar Ega. "Kayak yang sering gue bilang. Kadang gue tanya sama diri gue sendiri. 'Lo tuh ngejar apa sih Ga? Lo kayak gini itu maunya apa?'," Ega tersenyum tipis setelahnya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang