25

763 58 12
                                    

"Abang tuh egois, suka marah-marah...dan kesayangan papa, kebanggaanlah pokoknya," Rena memulai. Sejak awal saja sudah terlihat seolah tengah menabuh genderang perang untuk sang kakak tertua.

Edgar hanya mengangguk saja menanggapi, tidak ada minat menyahut saat ini, tidak peduli Rena bisa melihat anggukannya atau tidak.

"Kalo Abang mikir Abang dapet beban paling gedhe ya wajar, emang hampir semua anak pertama diperlakukan kayak gitu kan sama ortunya," ujar Rena menggebu.

Ega tertawa kecil, "Sabar, gak usah bentak-bentak kayak gitu ke Abang," ujarnya.

"Gak bentak kok!"

"Itu nada kamu naik lho."

"Ya emang gitu kadang dia, makanya males kan," Edgar ikut menyahut.

"Udah udah," Ega menengahi. "Ya udah lanjut."

"Ya gitu, Abang tuh emang yang diandalin kan sama papa. Udah anak pertama, laki pula, jadi kayak menang undianlah. Bener sih aku juga sering denger kalo anak pertama itu bebannya gedhe. Suruh mantau, ngawasin, jaga adek-adeknya. Tapi entah sadar atau enggak, terlepas dari tanggung jawab yang mereka pegang, sebenernya mereka yang paling bersinar. Dan adek-adeknya harus berusaha keras kalo mau ngalahin sinarnya itu," Rena mendadak berhenti bicara, bingung tentang apalagi yang harus dia katakan.

Cukup lama dia berhenti hingga kedua kakaknya saling pandang sejenak sebelum menatapnya lagi, namun keduanya memutuskan tidak memotong dengan kalimat apapun hingga Rena kembali melanjutkan ucapannya.

"Sebenernya bukan cuma kak Ega yang berusaha narik perhatian mama sama papa dengan jadi yang terbaik. Sebenernya aku juga sempet. Biarpun aku jarang dapet kesempatan buat tunjukin itu atau sering gak berhasil karena ya itu tadi, kalian sering batasin aku larang aku ini itu. Karena gimana ya...Abang tuh kayak pembanding, tapi tetep jadi yang paling utama. Kalo misalnya beneran gak berhasil ngalahin Abang, ya aku gak dapet apa-apa. Kalo keliatannya aku kayak bisa lampauin Abang...tapi nyatanya gak, karena Abang yang tetep unggul sementara aku...selalu ada celah dimana mama sama papa bisa kritik."

Rena sadar, bagaimanapun juga sinar Edgar memang paling kuat. Jika dia tidak berhasil mengalahkan sang kakak dia akan tertelan cahaya sang kakak, jika dia berusaha lebih keras mengalahkannya cahayanya tetap saja dia tetap tidak akan berhasil karena cahaya yang dia keluarkan akan tetap kalah, bisa-bisa itu menjadi samar dan seolah itu juga berasal dari kakaknya.

"Ya nggak sih Kak?"

Rena menoleh ke arah Ega, sedikit terkejut mendapati Ega yang tengah menatapnya dalam dan tersenyum seraya bergumam menyahut pertanyaannya. Sejenak Rena tertegun, kenapa kakaknya menjadi setampan ini? Sinar wajahnya bersih dan damai sekali. Seolah dia adalah orang paling damai sepanjang hidupnya, mendadak membuat Rena lupa pada fakta bahwa Ega adalah sosok yang menurutnya dingin dan tak tersentuh dulu.

Ah mungkin efek cahaya lilin, batin Rena. Mengenyahkan pikiran yang baru saja mampir tiba-tiba.

"Iya sih, kalo berusaha lebih keras malah capek sendiri. Abang tetep menang," ujar Ega akhirnya, kali ini berganti menatap sang kakak. "Abang tetep kebanggaan yang bakal selalu diunggulkan dan diutamakan. Mungkin itu juga salah satu yang akhirnya bikin Abang dituntut banyak hal. Karena papa sama mama ngarep banyak dari Abang, papa sama mama naroh standar yang tinggi buat Abang. Terlalu tinggi dan cuma buat Abang, sampe anak-anaknya yang lain gak dapet kesempatan dan izin buat naik kesana."

"Bisa jadi, tapi mereka gak sadar kalo aku juga gak sesempurna itu," Edgar menyahut.

"Manusia gak ada yang sempurna sih," Rena bergumam, memainkan pop socket ponselnya lagi.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang