Bukannya pergi ke kamarnya sendiri, Rena justru melangkah ke kamar Ega begitu dia sampai di rumah. Berniat menjadikan Ega tempat sampah atas kekesalannya pada Edgar.
Pintu kamar Ega tidak terkunci, seperti biasa. Lelaki itu tengah beristirahat. Rena sempat mengerucutkan bibirnya sebelum menghampiri ranjang. Dia beringsut perlahan menaiki ranjang dan membaringkan tubuhnya di sebelah sang kakak. Mengamati wajah Ega hingga dia menyadari bahwa kakaknya itu berkeringat dan pucat.
"Kak?" panggil Rena pelan, menyentuh pundak Ega berharap sang kakak bangun.
Di panggilan kedua, baru Ega membuka mata, menatap Rena sebentar sebelum kembali memejamkan mata. Tapi setidaknya dengan begitu Rena tahu kalau kakaknya itu masih sadar. Kasus pingsannya Ega beberapa waktu lalu mau tidak mau membuat Rena sedikit trauma, meskipun dia tidak berada di tempat kejadian saat itu.
"Kak, aku panggilin mama ya?"
Pada akhirnya Rena segera beranjak tanpa menunggu sahutan dari Ega. Jujur saja, gadis itu sedikit kaku dan tidak tahu apa yang harus diperbuat jika Ega sedang kambuh seperti ini.
"Ma, kakak sakit lagi," ujar Rena cepat saat dia menemukan Arum yang tengah menonton televisi. "Demam kayaknya."
Cukup dua kalimat, namun itu sudah ampuh untuk membuat Arum bergegas melangkah ke kamar si tengah. Bagaimanapun juga, untuk saat ini biarpun hanya terserang demam namun jika itu tentang Ega maka akan menjadi hal yang patut dikhawatirkan.
Ada sedikit rasa tenang ketika Rena melihat Arum menangani Ega, mengompres, menawari Ega makan -- karena menurut Arum, Ega belum makan apapun sejak pulang -- hingga membujuk Ega untuk ke Rumah Sakit.
"Ke Rumah Sakit ya Ga, takutnya kenapa-kenapa," Arum mencoba membujuk.
"Abang mana?" bukannya menjawab, Ega justru menanyakan keberadaan Edgar.
Sejak Arum mengajaknya bicara tadi, Ega memang sudah melantur. Padahal dalam kondisi sadar, Ega pastinya tahu jika jam-jam ini Edgar masih di toko. Rena sempat bingung karena racauan Ega, tapi Arum menenangkan dengan berkata 'Ini karena demamnya tinggi Ren, jadi kakak ngelantur gini, gak apa.'
"Aku tadi mau beliin buah buat abang," lanjut Ega, matanya terbuka tapi tidak fokus menatap Arum.
"Iya, besok aja belinya ya. Sekarang kita ke Rumah Sakit dulu ya nak, sabar sebentar. Ren, telepon abang coba, tanya bisa pulang sekarang gak buat bawa kakak ke RS."
Rena yang sebelumnya sibuk membatin, 'Kakak ngomong apalagi sih?' serta merta menghentikan lamunannya dan menatap ragu ke arah Arum. Lebih tepatnya ragu melaksanakan perintah Arum. Dia mengeluarkan ponsel, tapi kemudian memberikan ponsel itu kepada Arum begitu telinganya mendengar nada sambung. "Ini, Mama aja yang ngomong sama abang."
*
"Gimana Ma?" Edgar bertanya pelan, begitu dia sampai di sebelah Arum. Kini mereka berempat berada di ruang rawat Ega. Edgar baru saja sampai dan langsung menghampiri ranjang tempat adiknya terbaring.
"Harus bedrest lagi katanya," jawab Arum lirih. Sedikit ada rasa iba dalam hatinya. Baru beberapa hari si tengah bisa bebas pergi kemanapun, baru saja kondisinya terlihat stabil namun kini sudah kembali dianjurkan untuk bedrest. "Kata dokternya gak boleh kecapekan, banyak pikiran. Lakuin yang berat-berat gak boleh, ya penjelasan kayak biasa. Ini imunnya udah gak bagus, cuaca juga lagi gak enak, pokoknya harus dijaga kondisinya."
"Abis ngapain tadi?"
"Keluar kan dari pagi, abis nganter Rena terus gak langsung pulang katanya ada urusan sama temen. Pulang-pulang udah sore, mandi. Abis mandi Mama tawarin makan gak mau, bilangnya ngantuk mau tidur aja. Ini pas adek kamu dateng disamperin ke kamar udah keringetan, demam setengah sadar," jelas Arum panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...