1

8.4K 237 19
                                    

Mata Rena berkaca-kaca. Dia hanya merasa menentang sang kakak pertama tidak akan berguna. Mau ditentang atau tidak hasilnya sama saja, yang tertua akan selalu menang. Terlebih, kakak tertuanya adalah pengganti sang ayah, itu cukup untuk sekedar menuntut agar Rena dan kakak keduanya patuh dalam banyak hal.

Tapi...bukankah Rena juga manusia? Ada hal-hal yang tidak bisa dia lakukan semudah menjentikkan jari -- ah bahkan menjentikkan jari saja dia tidak bisa. Intinya, pasti ada hal yang di luar kemampuannya. Apa Rena salah jika dia dengan jujur berkata tidak sanggup melakukan sesuatu? Atau kakaknya tuli dan tidak mau tahu sehingga berpura-pura tidak pernah mendengar perkataan Rena?

Jujur saja, Rena lelah. Maka, setelah merasa tidak mampu lagi menahan air mata gadis itu membiarkan tetes pertama air matanya mengalir begitu saja. Rena bangkit dari duduknya, keluar kamar dan menghampiri satu kamar yang lokasinya berada di sudut lantai dua, dekat dengan balkon. Kamar itu adalah tempat yang sangat jarang dia masuki dulu karena takut dengan pemiliknya, namun beberapa bulan belakangan, tempat itu justru menjadi salah satu tempat yang membuatnya nyaman selain kamarnya sendiri.

Sang pemilik kamar mendongak begitu Rena membuka pintu. Ega -- kakak kedua Rena -- melemparkan tatapan bertanya pada Rena. Mata sayu lelaki itu menuntut sebuah penjelasan kala mendapati adiknya menangis.

"Kenapa?" tanya Ega pelan ketika Rena langsung berbaring di sebelahnya dan memeluknya.

Rena tidak segera menjawab. Gadis itu masih sibuk terisak, bisa-bisa kalimat yang keluar dari mulutnya akan susah dimengerti jika dia memaksa berkata-kata. Sementara Ega memutuskan berhenti bertanya, mengubah posisi tubuhnya dengan gerakan lamban menghadap kepada Rena. Kini dia balas memeluk sang adik sambil sesekali mengusap punggung atau kepala Rena.

"Abang jahat!" adu Rena dalam satu tarikan nafas.

Kali ini giliran Ega yang terdiam. Dua kata yang Rena ucapkan entah kenapa seolah menariknya kembali pada kesimpulan bahwa beberapa waktu belakangan sifat kakak tertua mereka itu sedikit berubah. Sebelumnya Ega tidak ambil pusing, bisa saja sang kakak memang sedang banyak pikiran, tapi mendengar ucapan Rena dia jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu diapain sama abang?" Ega memutuskan bertanya, melampiaskan rasa ingin tahunya.

"Dimarahin."

"Alasannya?"

"Kerjaan," Rena kembali terisak. "Stok barang di toko kacau. Barang di program komputer sama asli banyak yang gak sama. Aku disuruh nelusurin transaksi mana aja yang bikin beda. Ya mana aku tahu, transaksi kita ada ratusan tiap minggu. Tapi mau gak mau aku tetep lakuin kak. Cuma aku gak langsung nemu, gak bisa ketahuan mana yang salah. Abis itu di tengah, abang negor lagi. Nanyain perkembangannya, kujawab 'gak nemu' aku dimarahin," Rena menarik nafas sebelum kembali melanjutkan pada bagian dimana dia merasa sangat sakit hati pada perkataan kakaknya, "Katanya aku gak becus jagain stok, gak becus jagain toko. Bang Edgar bikin keputusan baru. Aku harus stok semua barang bener-bener, buat liat berapa stok asli yang kita punya. Tapi selama itu juga kegiatan jual beli kita masih jalan. Jelas aku kesusahan buat ngitung stoknya. Pas aku minta waktu toko tutup sehari biar aku bisa fokus ngitung, abang gak mau. Lagi-lagi aku cuma bisa nurutin. Tapi kondisi toko juga lagi rame, aku gak tau darimana asalnya tapi bang Edgar bilang ada customer komplain karena gak cepet dilayanin. Aku disalahin lagi, katanya harusnya aku bantu layanin customer dulu. Aku harus apa kak? Aku dituntut ini itu. Badan aku cuma satu, gak bisa dibagi."

Ega terus mengusap punggung Rena sepanjang gadis itu bercerita. Masalahnya terdengar nyata dan lumrah terjadi, namun itu cukup menyulitkan sebenarnya.

"Capek kerja di tempat sendiri, mending kerja di luar sekalian."

Ega masih diam, jika saja dia bisa membantu di toko lagi, pasti dia akan membantu. Namun kondisinya beberapa bulan ini tidak memungkinkan. Dan lagi, dia tidak tahu kenapa Edgar mendadak seperti ini. Kakak tertua mereka itu, setahunya dulu seringkali mengetahui dengan pasti situasi dan kondisi di toko, mengetahui batas kemampuan karyawan dengan baik. Tapi sekarang? Bahkan adik kandungnya pun diperlakukan seperti ini.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang