52

390 9 5
                                    

"Jim?"

"Hmm?"

Tangan kanan Rena masih menumpu di dagu, sementara tangan kirinya memainkan kartu-kartu healer di hadapannya. Jimmy yang sedang sibuk dengan laptop pribadinya menoleh, keningnya berkerut menatap gerak-gerik Rena.

"Apa?" tanyanya, setelah Rena tetap tidak melanjutkan kalimat setelah sekian lama.

"Aku kalo resign alasannya apa ya?"

"Resign? Dari sini apa distributor?"

"Distributor."

"Kenapa pengen resign?"

"Capek."

"Capek...apa? Fisik?" Jimmy mencoba menebak, masalahnya Rena juga jarang bercerita secara mendalam dengannya. Tentu saja, gadis itu memiliki Ares sebagai tempat sampah ideal. Namun siang ini, selain karena bukan jadwalnya konsul dengan Ares, sepertinya juga karena dia ingin meluapkan bebannya begitu saja.

"Fisik iya, pikiran sama hati iya. Ternyata ketemu banyak orang luar itu bikin capek juga."

"Tapi kalo gak ketemu orang luar, kamu gak bakal tahu macem-macem orang di luar sana," Jimmy memilih menutup laptopnya, mencoba memfokuskan diri pada cerita Rena.

"Iya sih," Rena menyetujui, bayangannya kembali pada tekadnya yang ingin keluar dari rumah dan meninggalkan toko furniture keluarga tahun lalu, merasa bahwa dia tidak betah dengan suasana itu terutama sikap Edgar. Namun kini, dia justru merasa kakak sulungnya itu justru lebih baik dibanding orang-orang yang ditemuinya di tempat kerja. Setidaknya, sekeras dan semenyebalkan apapun Edgar, pria itu tidak akan memiliki niatan yang cukup buruk untuk menjatuhkan adiknya sendiri bukan?

Darah lebih kental daripada air.

Itu yang orang-orang katakan. Dulu Rena akan menentangnya, tapi sekarang dia merasa itu ada benarnya.

"Jadi, beneran udah mau nyerah?"

Rena mengangkat bahu.

"Kamu udah berapa lama masuk dunia luar?"

"Setahunan sih."

"Pertama kali ya?"

"He'em."

"Kaget?"

Rena mendongak menatap Jimmy ketika lelaki itu melontar tanya sembari mengusap kepalanya, terlalu terlambat untuk mengelak karena hal itu terlihat sangat natural bagi Jimmy. Well, ini memang bukan pertama kalinya lelaki itu melakukan ini. Dan tentu saja, nyaris setiap kali Jimmy melakukannya entah kenapa dia jadi teringat Ega.

"Kangen Kakak," gumam Rena tiba-tiba.

"Hah?"

"Gak tau ah."

Jimmy mengerjap, mengamati Rena lamat. Bingung dengan kelakukan lawan bicaranya.

"Lagi pms," gumam gadis itu lebih pelan dari sebelumnya.

"Ya elah pantesaaannn," Jimmy berseru disambung tawa, yang berhasil membuat Rena ikut tertawa -- merasa konyol dengan tingkahnya sendiri.

"Tapi beneran ih."

"Apanya? Pmsnya?"

"Bukan. Eh iya, itu juga beneran."

Jimmy masih tergelak.

"Pengen resignnya maksudku."

"Kenapa kenapa?"

"Ya yang tadi itu lho."

"Mau cerita lebih detail gak? Kurang jelas gitu ngomongnya."

Kemudian cerita itu mengalir begitu saja dari bilah bibir Rena.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang