Edgar membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang dibawanya. Beruntung siapapun yang berada di rumah saat ini tidak membiarkan kunci tergantung di lubang hingga dia bisa membuka pintu itu.
Tentang siapa yang berada di rumah saat ini, harusnya itu Rena kan?
Langkah Edgar mengayun pelan menuju kamar si bungsu, mencoba membuka pintunya yang pastinya tidak dikunci. Rena berbeda dengan Ega. Jika Ega akan selalu mengunci pintu kamar, maka Rena kebalikannya. Meski belakangan sejak Ega sakit pintu kamarnya tidak lagi dikunci. Atas permintaan Arum yang bertujuan agar dia mudah mengecek kondisi Ega.
Dengan gerakan sepelan mungkin Edgar mendorong pintu kamar Rena. Lampu kamar terang benderang -- kebiasaan Rena juga yang tidur dengan lampu menyala -- membuat Edgar dengan mudah dapat melihat Rena tengah tertidur didalam balutan selimutnya. Pria itu kembali menutup kamar sang adik setelahnya.
Edgar tidak tahu jam berapa Rena pulang. Pesan yang Rena kirim ke ponselnya pada pukul delapan malam baru sempat dilihatnya ketika waktu sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam. Kala itu hal pertama yang dia tanyakan adalah apa Rena sudah pulang atau belum dan dijawab singkat 'Sudah'. Setelahnya Edgar mengabarkan tentang dia yang akan pulang dan meminta Rena untuk tidak menggantungkan kunci di pintu depan. Namun pesannya tidak dibalas. Tapi mengingat pintu rumah yang ditinggalkan seperti permintaannya, Edgar merasa bersyukur.
Langkah kaki Edgar membawanya ke kamar. Badannya terasa lengket, sore tadi dia memang belum sempat mandi. Bahkan baju yang melekat di tubuhnya adalah baju yang dia gunakan saat bekerja di toko tadi. Matanya menatap jam dinding yang menggantung di seberang ranjang. Sebentar lagi pukul tiga, masih ada waktu untuk tidur sebelum kembali bekerja beberapa jam lagi.
*
Niat ingin tidur dini hari tadi nyatanya gagal dilaksanakan. Edgar tidak bisa tidur hingga jam menunjukkan pukul enam dan pada akhirnya pria itu menyerah. Cukup terkejut menyadari Ratna sudah berada di dapur pada pukul setengah tujuh pagi -- padahal biasanya Ratna baru sampai pukul delapan -- padahal niatnya Edgar akan memasak untuk Rena dan dirinya.
"Bu Ratna nyampe jam berapa?" tanya Edgar.
"Saya nggak pulang mas, sama mbak Rena suruh nginep semalem, soalnya udah malem pas mbak Rena pulang," jelas Ratna.
"Rena pulang jam berapa emang Bu?"
"Sekitar jam sebelas kalau gak salah mas."
Edgar mengangguk.
"Mas ini lauknya belum matang, saya baru masak nasi aja."
"Gak apa Bu, saya aja yang masak, sekalian buat dibawa ke RS nanti. Bu Ratna bersih-bersih aja."
Ratna mengiyakan, menyempatkan diri bertanya tentang kondisi Ega sebelum berlalu dari sana.
Pagi ini, Edgar mencoba mengembalikan moodnya dengan memasak. Mencoba menyibukkan diri sejak pagi sebagai pengalihan pikiran sekaligus pemanasan tenaga untuk sepanjang hari nanti.
Walau dalam hati rasanya dia ingin sekali liburan. Tidak ingin mengurus toko atau bahkan tidak mengingat berapa biaya Rumah Sakit Ega.
Rasanya dia ingin menikah saja dan pergi jauh dari kota ini.
Tapi itu tidak mungkin.
Menjadi sulung dari keluarga ini, bukan hanya berarti sebagai penerus utama bisnis keluarga -- karena hal itu akan dibagi rata dengan adik-adiknya nanti meski Edgar bisa saja memiliki kekuasaan lebih tinggi. Menjadi putra tertua terlebih ketika ayahnya sudah tiada artinya adalah dia sosok yang diandalkan dalam keluarga, tulang punggung, pengganti sang ayah. Edgar tidak bisa lari begitu saja, karena mau tidak mau dia harus menghadapi semuanya. Dulu, dia pikir dia lebih sering bersenang-senang dan lebih bebas walau di satu sisi sang ayah seringkali melarang ini itu dan menuntut ini itu. Tapi rasanya sekarang semua berubah, seolah segalanya dibebankan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...