Ares memang salah satu klien Ega dulunya. Yang entah bagaimana memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ega seiring berjalannya waktu. Ares anak yatim dan dia seolah melihat sosok ayahnya dalam diri Ega. Terlebih Ega memang selalu memanggilnya dengan panggilan Ananda. Bahkan hingga kini, ketika healer lain dan klien terbiasa memanggilnya dengan nama Ares yang memang diambil dari nama Ananda Respati.
Ega adalah salah satu yang paling bisa membuat Ares menurut diantara semua rekan kerjanya, juga satu-satunya yang paling dihormati oleh Ares hingga Ares memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'saya' setiap kali berbicara pada Ega. Di saat-saat tertentu Ega adalah satu orang yang membuat Ares rela membuat mulutnya lelah berbicara sekaligus rela membuatnya menghabiskan kuota hanya untuk berbincang lewat telepon.
Bahkan jika dipikir-pikir, kedekatan antara Ega dan Ares jika dilihat sekilas lewat faktor persaudaraan lebih intens dibandingkan Ega dan Rena walaupun jelas Ares tidak memiliki ikatan darah.
Karena memang entah bagaimana, sosok Ega yang biasa saja justru terlihat seperti sosok luar biasa yang Ares jadikan sebagai role modelnya.
Mata Ares masih menatap Ega dalam, hingga yang lebih tua memilih mengalihkan pandangan ke arah kanan karena teringat dan merasakan sesuatu. Menangkap kehadiran Rena yang sedikit tersembunyi di balik pintu. Ares mengikuti arah pandangnya, sedikit terkejut mendapati kehadiran Rena di sana. Seharusnya, dia ingat bahwa Rena hari ini memiliki jadwal konseling, bahkan itu baru saja berakhir. Dan seharusnya dia bisa menduga bahwa gadis itu masih ada di sini karena Ega juga masih berada di sini dan dari informasi yang Jimmy berikan, dua bersaudara itu berangkat bersama tadi. Yang secara tidak langsung dapat dipastikan keduanya juga akan pulang bersama.
Dengan cepat Ares segera mengubah pembawaan dan sikapnya. Dia segera menenangkan diri, sedikit menjauh dari Ega dan menatap Rena dengan senyum lembut.
"Sorry, gak tau kalo ada orang," ujarnya sambil tetap mempertahankan senyumnya.
Rena mengangguk kaku, ikut tersenyum, "Gak papa."
"Hmm Nda, bisa minta tolong fotoin Abang sama Rena?" Ega mencoba mengalihkan perhatian yang disambut dengan cepat oleh Ares.
Beberapa waktu setelahnya Ares sudah bergulat dengan kamera Ega dan memotret kedua kakak beradik itu.
"Tangan Abang tremor, jadi tolong kamu aja yang fotoin."
Itu yang dikatakan Ega ketika meminta Ares memotret Rena, hanya Rena tanpa dirinya.
Lebih dari satu jam mereka bergelut dengan kamera dan melakukan sesi foto, sekaligus mengajari Rena cara memakai kamera. Hingga akhirnya Ega mengeluh lelah dan meminta izin untuk istirahat. Sebenarnya Ega mengizinkan Ares jika memang masih ingin berada di sana, tapi Ares cukup tahu diri. Dia juga tidak mau menciptakan keributan yang justru membuat Ega urung beristirahat, jadi dia memutuskan kembali ke ruangannya dan menunggu klien berikutnya yang akan datang setengah jam lagi.
Kini, kembali kamar itu hanya dihuni oleh Ega dan Rena. Keduanya berbaring bersisian di atas ranjang Ega. Rena yang sibuk memandang langit-langit kamar dan Ega yang sibuk memilih lagu di ponsel untuk dijadikan lullaby.
"Kenapa biru?" tanya Rena tiba-tiba.
"Hmm?" Ega bergumam, jemarinya masih sibuk bermain di atas smartphone miliknya.
"Kenapa kamar Kakak selalu warna biru? Di rumah biru di sini biru. Kenapa suka warna biru? Karena tenang?"
Butuh beberapa detik bagi Ega untuk terus berurusan dengan ponselnya hingga dia meletakkannya di sebelah bantal, membiarkan lagu-lagu yang dia pilih menemani percakapan menjelang tidur sore mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...