13

1K 88 5
                                    

Rena memainkan jemari kurus Ega. Sementara sang pemilik tangan sendiri hanya menatap tanpa ekspresi.

"Ren, tangan kakak jangan dimainin, itu ada infusenya," tegur Edgar dari sofa di belakang Rena.

Rena hanya mencibir -- dia juga tahu kalau tangan kakaknya ditancapi infus -- Edgar yang berada di belakangnya jelas tidak bisa melihat ekspresinya tapi Ega yang ada di depannya melihat. Lelaki itu tersenyum tipis, kemudian sedikit merunduk ke arah Rena.

"Udah baikan sama abang?" bisiknya.

Rena mengangkat bahu, "Gak tau," jawabnya pelan. Ingatannya melayang ke kejadian dua hari lalu saat dokter mengatakan bahwa mereka berhasil menyelamatkan Ega. Saat itu dia sempat menangis dan reflek Edgar mendekapnya begitu saja.

Dekapan Edgar itu hangat, Rena suka.

Senyum tipis terukir di bibir Rena ketika mengingat hal itu. Kalau dipikir-pikir lagi, seringkali yang mengawali cekcok mereka adalah masalah di toko. Dan jika mereka tidak bersinggungan di toko maka urusan hubungan keluarga di luar itu juga baik-baik saja.

Omong-omong hari ini bahkan keduanya pulang bersama dari toko, langsung menuju ke Rumah Sakit untuk melihat kondisi Ega.

Ega sendiri baru sadar tadi pagi. Setengah linglung, seolah ingatan dan nyawanya belum terkumpul sempurna. Menurut Arum, si tengah itu juga tidak banyak bicara hari ini. Bahkan ketika dua saudaranya datang sepulang dari tokopun dia tidak banyak bicara. Hanya saja kondisi fisik Ega terlihat normal-normal saja. Dan dokter mengatakan dia juga sedikit lebih baik, setidaknya untuk saat ini. Jadi mungkin hanya moodnya yang tidak stabil. Untungnya, Ega tidak sampai mengusir semua orang dan tidak ingin ditemui siapapun.

"Kak?" Rena mengambil inisiatif untuk memulai percakapan.

"Hmm?"

"Inget acara penghijauan yang kakak minta aku gantiin kakak?"

"Ya, kenapa?"

"Ternyata Davin beneran gila, sinting kali dia," bisikan Rena lebih lirih dari sebelumnya.

Ega tertawa kecil, kembali merunduk untuk berbisik, "Kan, makanya kakak bilang jangan naksir dia."

"Tapi kak..." Rena menoleh ke belakang sekilas, setelah memastikan Edgar sibuk dengan ponselnya, gadis itu berbisik cepat, "Ada yang tinggi punya dimple ganteng banget."

Kening Ega berkerut, dia berpikir sejenak sebelum mendengus sebal, "Kamu tuh kalo urusan cowok ganteng aja cepet."

Rena terkikik menyebalkan, mendadak memainkan telunjuknya melukis abstrak di lengan bawah Ega.

"Jangan naksir Juni ah."

Kini Rena merengut tidak terima, "Siapa yang naksir? Cuma suka aja."

"Jangan ngefans, nanti kebablas."

"Kenapa sih?"

"Ya mereka temen kakak. Kakak tau gimana mereka, kakak tau gimana kamu. Udah gak usah."

"Ih kenapa?"

Ega mendengus lagi, lelah menanggapi sikap ngeyel si bungsu, "Jangan."

"Ya bilangin dulu kenapa."

"Juni gak bakal lirik bocah kayak kamu juga. Ketinggian dia buat kamu."

Kini Rena merengut, semakin gencar melukis abstrak di hasta Ega. Ega menatap Rena ragu, sedikit menyentak tangannya yang mulai terasa geli karena gerakan random Rena. Lelaki itu membasahi bibir, menimbang sejenak sebelum berkata pelan, "Lagian Juni tuh mesum."

Rena melongo.

Apa teman-teman kakaknya tidak ada yang normal?

*

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang