9

1K 88 5
                                    

Pagi ini suasana rumah terasa seperti biasa seolah semalam tidak ada kejadian apa-apa. Eum...lebih tepatnya, Rena melihat sang Ibu tengah menyiapkan makanan seperti biasa. Hanya saja rasa canggung yang dialami Rena seolah tidak ingin lepas dari dirinya. Kenapa dia seperti ini? Padahal Arum tidak melakukan apapun yang aneh kepadanya, namun Rena merasa dia tidak nyaman hanya dengan mengingat apa yang dia dengar semalam.

"Bu Ratna mana Ma?" tanya Rena memecahkan keheningan.

"Izin gak masuk, anaknya sakit katanya," jawab Rena.

"Mama yang masak semua?"

"Iya. Mau bawa bekal gak?"

Rena mengangguk, kemudian berbalik mencari kotak bekal yang biasa dia pakai di rak. Pandangannya tidak sengaja mengarah keluar melewati pintu dapur yang terbuka.

"Kakak ngapain Ma?"

Mendengar pertanyaan si bungsu, Arum menoleh ke arah taman belakang, mendapati si tengah duduk di ayunan dengan sebuah buku di tangannya.

"Baca buku gitu."

"Mama iiihhh."

"Lho kan bener."

"Kok jam segini udah keluar kamar tumben."

"Gak tau, daritadi di situ. Mama baru bangun aja kakak udah mandi."

"Udah sarapan belum?"

"Belum, ajakin sana."

Rena melangkahkan kakinya menghampiri Ega, mendapati sang kakak terlihat serius dengan novel di tangannya.

"Disuruh sarapan sama mama," kata Rena.

"Bentar," sahut Ega, masih fokus pada novelnya.

Bukannya beranjak, Rena justru duduk di samping sang kakak. Mengamati halaman belakang rumah mereka yang terlihat terawat. Kata Arum, semenjak Ega tinggal di rumah lelaki itu beberapa kali ikut merapikan taman membantu Pak Burhan -- orang yang mereka sewa untuk membersihkan pekarangan sebulan sekali -- atau bahkan bertindak sendiri. Walaupun Edgar terus mewanti agar Ega tidak sampai kelelahan.

"Ngapain? Sarapan dulu sana. Nanti telat," ujaran Ega menghentikan lamunan Rena.

"Nunggu kakak."

"Ckk, pergi ah ganggu," dengus Ega pura-pura kesal. Padahal sebenarnya dia bahkan tidak merasa terganggu sama sekali, masih bisa fokus pada novelnya.

Rena balik mendengus kesal, memajukan bibirnya lalu beranjak dari sana.

"Nanti kalo mau berangkat panggil ya, kakak anter."

*

Entah hanya perasaan Rena atau hubungan di antara kedua saudara lelakinya tengah mendingin. Bahkan Ega tidak mengatakan kata pamit apapun saat akan menjalankan motornya padahal saat itu kebetulan Edgar baru keluar dari pintu rumah. Rena berangkat lebih siang dari biasanya. Sebenarnya daritadi gadis itu sudah merengek -- lagi-lagi takut ditegur Edgar -- tapi Ega bersikap seolah tidak mendengar dan tetap berangkat sepuluh menit dari jam berangkat Rena di hari-hari biasa.

Pada akhirnya Rena memilih diam saja ketika menyadari suasana hati kakaknya terlihat tidak begitu baik.

"Kamu ditanyain sama Davin," ujar Ega tiba-tiba saat motor mereka berhenti di lampu merah.

"Kenapa kak?"

"Kamu ditanyain Davin."

Rena merasa tubuhnya dijalari rasa hangat ketika dia menangkap kalimat Ega. Davin itu...di ingatan Rena, adalah sosok lelaki tampan berhidung mancung yang ada di kamar kakaknya -- kamar di rumah yang mereka datangi kemarin -- ketika dia membuka mata. Sosok yang membuat Rena ingin menimpuk Ega dengan bantal karena mendadak ada orang lain yang berada di ruangan yang sama dengan tempat dia tertidur. Jujur rasanya Rena malu sekali, sampai-sampai kemarin dia dua kali bertanya pada Ega apa dia bertingkah atau berpose memalukan ketika sedang tidur. Dan setelahnya kembali menggerutu pada Ega karena mengajak seseorang masuk ke dalam sana seenaknya. Ya walaupun itu berakhir dengan bentakan kesal Ega yang mengatakan bahwa itu haknya mengajak Davin kedalam sana dan lagipula Davin tidak peduli pada Rena karena keperluan Davin hanya berbincang dengannya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang