Ega sudah bangun belum ya?
Arum melepas celemeknya, berjalan menuju kamar Ega di lantai dua. Pagi ini setenang pagi-pagi sebelumnya. Jujur saja, semenjak kedua anaknya tidak tinggal seatap lagi dengannya rumah ini terasa semakin sepi. Arum seringkali merindukan masa dimana Hendrawan masih hidup, ketika keluarga mereka masih utuh. Merindukan keributan yang seringkali diciptakan Edgar dan Rena dulu ketika keduanya masih di usia muda. Hhh ternyata seperti ini rasanya ketika anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Padahal dulu dia benci putra putrinya membuat keributan di seluruh penjuru rumah, namun kini ternyata itu sangat menyenangkan untuk diingat.
Lamunannya masih berlanjut ketika Arum membuka pintu kamar Ega. Dulu, dia jarang memasuki kamar ini. Pemiliknya juga enggan membuka kamar. Karena entah sejak kapan tepatnya, seingat Arum si tengah itu menjadi pribadi yang cukup tertutup. Walau dalam kondisi lain dia bisa menjadi yang paling ceria dan menghidupkan suasana ketika semua anggota keluarga berkumpul. Terkadang, Ega memang sulit ditebak.
Langkah Arum membawanya mendekat ke ranjang Ega. Namun ada sesuatu yang aneh, kejanggalan itu terlihat begitu mencolok di matanya. Nafas Ega yang memberat, mata terpejam dan wajah pucat putranya lengkap dengan keringat yang membasahi leher dan pelipis Ega sontak membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.
Tunggu dulu, sejak kapan putranya menjadi sepucat dan setirus ini?
"Ga?" panggil Arum pelan, mendudukkan diri di tepi ranjang Ega.
Panggilannya tidak mendapat respon apapun. Jangankan untuk membuka mata, untuk bernafas saja Ega terlihat kesulitan. Saking sulitnya, suara nafasnya justru terdengar seperti suara tercekik. Arum menatap sekujur tubuh sang putra. Benar, bagaimana mungkin dia baru menyadari putranya mendadak terlihat begitu kurus, lemah dan pucat.
"Ega?" Arum memanggil anaknya sekali lagi, kali ini dengan berbisik tepat di dekat telinga Ega.
"Ega denger mama nak? Ayo bangun."
Diluar dugaan, sementara Arum mengusap lembut pelipis Ega yang berkeringat, Ega mendadak kejang. Arum nyaris berteriak, namun dengan cepat dia mendekap tubuh sang putra, mengungkungnya dan merapalkan do'a-do'a sebisanya. Air matanya mendadak tidak bisa ditahan. Firasatnya mengatakan satu hal buruk yang berusaha dia tepis.
Arum masih terus merapal kalimat Allah, tapi sungguh dia takut menghadapi ini sendirian. Otaknya mendadak buntu. Wanita itu dengan cepat berdiri, keluar dari kamar Ega dan berlari kesetanan ke lantai bawah.
"Mbak Ratna!" teriaknya pada Ratna yang tengah mengepel lantai ruang tamu, seketika menghentikan aktifitas asisten rumah tangga itu. "Mbak tolong panggil Pak Deni mbak...Ega mbak...."
"Iya Bu," tanpa penjelasan lebih, Ratna sadar apa yang dimaksud Arum. Wanita itu segera bergegas ke luar rumah mencari sopir sekaligus tukang kebun rumah itu. Sementara Arum kembali ke kamar Ega. Mendapati Ega dalam kondisi sama, Arum kembali menangis. Didekapnya Ega kuat-kuat dalam dekapannya.
"Istighfar Nak, ikutin Mama, Astaghfirullah halladzim," Arum membisikkan kalimat itu berkali-kali. Sayangnya Ega tidak merespon seperti yang dia harapkan.
"Ibu?"
Arum menoleh dan mendapati Ratna di belakangnya, "Mbak...gimana ini mbak? Gimana? Ega kenapa gini mbak?"
Sungguh, rasanya Arum benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang.
"Bu, permisi ya," kali ini Pak Deni yang bersuara.
Arum hanya mengangguk, membiarkan Deni mendekat bahkan membiarkan pria itu naik ke sisi lain ranjang. Arum tidak peduli tangan dan kaki Deni masih basah -- sepertinya karena menyempatkan diri mencuci tangan dan kaki sebelum kesini -- yang Arum pikirkan hanya Ega. Air mata Arum terus mengalir menatap Ega yang belum juga tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...