IM : 54

1.2K 59 0
                                    

Part 54

Sepeninggalan Alif ke masjid, Ninda bergegas mandi sebab ia bocor. Beruntungnya Alif tidak ada jadi ia tak melihat noda darah yang tercetak jelas di sprei bewarna hijau tosca tersebut.

"Ish, kenapa bocor segala, sih! Jadi nyuci sprei 'kan. Padahal baru diganti dua hari lalu," sungut Ninda kesal sembari melepas sprei itu, lalu membawanya ke kamar mandi untuk di rendam bersama pakaian kotor yang jumlahnya tak banyak.

Setelah berganti baju, ia membereskan ranjang mengganti sprei dengan warna Navy. Matahari masih enggan menampakkan diri, hawa dingin menusuk di kulit Ninda. Ia beranjak turun ke bawah sambi meringis manahan sakit bercampur nyeri di area perut dan punggungnya.

Suasana rumah bertingkat dua itu sepi, Ninda melangkahkan kakinya pergi ke dapur untuk membuat coklat hangat untuk dirinya dan Alif.

"Non, lagi ngapain?" ujar Bi Ani berdiri di belakang Ninda, wanita paruh baya itu masih berbalut mukena putih menandakan ia baru saja selesai salat.

Ninda membalikkan badannya. Ia terpekik kaget, "Astaghfirullahalazim, Bibi! Kirain Ninda setan."

Bi Ani terbahak. "Maaf atuh, Non. Bibi nggak maksud ngagetin non, Non lagi ngapain kok seduh air?"

"Buat coklat hangat perut aku sakit, Bi."

Bi Ani terkikik geli melihat handuk yang bertengger di kepala Ninda, pikiran perempuan paruh baya itu berkelana jauh menerawang bersama angan-angan.

"Tumben rambutnya basah pagi-pagi, Non."

"Ninda bocor bi, makanya mandi pagi."

Bi Ani mengangguk paham. "Owalah, Bibi naruh mukena dulu ya, Non. Awas hati-hati ada setan!"

"Bibiiiii," pekik Ninda kesal.

"Ha ha ha!"

Air dalam panci pun mendidih gegas Ninda menuangkan air ke dalam cangkir. Aroma coklat langsung menguar di indera penciumannya membuatnya sedikit rileks dan tenang, lantas ia membawa coklat hangat itu ke meja makan sembari menunggu sang suami pulang.

Tak menunggu lama suara decitan pintu utama dan salam mulai terdengar, Ninda berlari ke arah pintu utama menyambut suaminya itu.

"Abang sendirian ke masjidnya?" tanya Ninda sambil menarik tangan Alif untuk membawanya ke meja makan.

Sesampainya disana Alif langsung mendudukkan diri di salah satu kursi. Ia menatap Ninda yang sibuk menghidangkan coklat hangat untuknya.

"Abang Bian nggak pergi ke masjid, Nin. Mungkin dia salat di rumah," balas lelaki tampan itu.

Ninda menghela napasnya kasar. "Maksud aku itu kamu sendirian ke masjidnya?"

"Sama Pak Hardi, kamu manggil aku Abang?"

Ninda menunduk malu, memilin jari jemarinya lantas ia mengangguk kecil. "Nggak boleh ya?"

Alif terkekeh pelan, tangannya terulur menarik pinggang Ninda untuk mendekat ke badannya. "Boleh,"

"Aku buatin kamu coklat hangat, minum gih!"

Alif mengangguk lantas ia mengambil cangkir itu lalu menegaknya hingga seperempat. "Enak, manisnya pas pula aku suka,"

Semburat merah langsung muncul di kedua pipi sang gadis. Bibirnya mengulum senyum, dadanya berbunga-bunga mendengar pujian manis pertama untuknya.

Alif tersenyum melihat Ninda yang salah tingkah, "Bunda sama yang lain kemana, Nin?"tanyanya.

"Nggak tahu, biasanya jam segini Bunda udah teriak bangunin semua orang buat subuhan. Eh, kok pagi ini sepi."

"Kamu ngapain keramas?" tanya Alif menyelidik.

Imamku Musuhku [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang