IM : 78

597 40 2
                                    

Hallo prend.
Selamaat weekenddd!
Apa kabar? Semoga selalu bahagia yaw
Jangan lupa tap pojok kiri di part sebelumnya ya! 👉🏽👈🏽

Bagaimana udah siap membaca? Tarik napas dulu pren, soalnya agak tegang sedikit wkwk.

⭐⭐⭐⭐ jangan lupa say

Playlist -- Teman Hidup - Tulus.
























Part 78

***
Ninda menunggu dengan perasaan gelisah, jarum jam menunjukkan pukul setengah lima sore dan operasi pun belum berakhir.

Ninda terus melantunkan dzikir untuk menenangkan hatinya, berharap operasi yang dijalani Alif berjalan lancar. Tiba-tiba Armand datang ia berjalan sedikit pincang. Beberapa kali Armand meringis merasakan nyeri sakit di kaki serta sekujur tubuhnya.

"Bu Ninda," panggil Armand.

Ninda menoleh ke sumber suara, alangkah terkejutnya melihat kedatangan Armand. Pria dua puluh delapan tahun itu ternyata sama terluka parah seperti Alif. Kepala Armand dibalut perban dan kakinya pincang.
Tak tega melihat Armand kesulitan berdiri, Ninda menepuk kursi  di sampingnya meminta ajudan Alif untuk duduk.

"Duduk dulu, Ar, kamu dari mana?" tanya Ninda penasaran.

Bukannya menjawab pertanyaan yang dilontarkan dari sang Nyonya. Armand menghela napas panjang lalu balik bertanya, hati pria manis itu tak tenang. Ia sangat khawatir dengan kondisi sang Tuan.

"Bu, bagaimana keadaan Bapak? Maaf saya baru datang, saya tadi harus ke kantor polisi dulu." ucap Armand meminta maaf.

Ninda menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. "Masih di operasi, tulang kering di kaki patah, Ar."

"Astaghfirullahalazim," seloroh Armand terkejut seraya mengelus dada. "Maafkan saya bu telah lalai menjaga Bapak."

"Bukan salah kamu, ini ujian dari Allah." Ninda menatap kepala Armand yang tertutup perban, ia juga melihat celana bahan yang digunakan Armand robek. Sepertinya pria itu tidak berbohong dan benar mengurus ke kepolisian, bahkan ia tak mengganti pakaiannya terlebih dahulu. "Kamu sendiri apa masih ada yang sakit? Kalau ada segera periksa, Ar."

Armand menggeleng pelan. "Tidak usah, Bu, luka saya tidak terlalu parah. Lagipula saya sudah mendingan, tapi bu...apakah Tuan besar sudah tahu tentang kondisi Bapak?"

Ninda melirik sekilas ponsel di saku almet, jam menunjukkan pukul setengah lima lewat sepuluh menit. Ninda lupa ia belum menunaikan salat ashar, alangkah baiknya ia pergi sekarang. Toh, sudah ada Armand yang menunggu Alif, sambil mencari makan untuk asisten pribadi sang suami.

"Ar, saya titip Abang sebentar ya, tolong WA saya kalau operasinya sudah selesai. Saya mau salat ashar dulu, kamu dah salat belum?" pamit Ninda berkemas menarik tas punggung kecil lantas meletakkan di bahu.

Armand mengangguk."siap, Bu."

Ninda memutar badan lalu melangkahkan kaki keluar dari gedung rumah sakit. Langit sore ini sedikit mendung seakan-akan mendukung suasana isi hatinya.

Setelah berhasil menyebrang jalan yang cukup padat karena banyaknya orang kantor pulang akhirnya Ninda sampai di pelataran masjid Nurul Ihsan.Beberapa mobil mewah terjejer rapi di depan masjid.

Ninda segera melepaskan sepatu, melangkahkan kaki menuju kamar mandi guna mengambil wudu. Setelah itu perempuan manis lekas memakai mukena dan melakukan ritual empat rakaat yang hampir di ujung waktu.
Seusai salat Ninda menengadahkan tangan mulai berdoa kepada sang illahi, menumpahkan segala rasa sesak, kalut, takut yang menggerogoti hati.

Imamku Musuhku [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang