Arki menunggu Mika di teras rumahnya. Sejak tadi, Arki memantau kepulangan Mika, tapi ia tak kunjung melihatnya. Berkali-kali Arki memastikan sepeda Mika di rumah itu, dan sepedanya tidak ada, itu artinya Mika memang belum pulang.
Sudah sering Arki melirik jam tangannya, sekadar memperkirakan waktu kapan Mika akan pulang. Sesaat kemudian, Arki melirik tas ransel biru langit di sampingnya. Arki merutuki dirinya sendiri. Kebodohan apa lagi yang ia lakukan sekarang?
Dengan mendesah kesal, Arki beranjak dari tempat duduknya dan membawa tas ransel itu. Setelah ia gantungkan tas itu di motornya, Arki memakai helm, kemudian pergi dari rumah untuk mencari Mika yang tak kunjung pulang. Lebih tepatnya rasa bersalah yang membuatnya melakukan hal itu.
Setelah motor vespa matic itu keluar dari komplek perumahan, Arki melihat Mika yang tengah duduk sendirian di halte Bus. Tanpa ragu Arki langsung menghampiri Mika, ia menghentikan motornya di depan cewek itu.
Awalnya Mika sedikit terkejut melihat kedatangan Arki bersama tas ransel di tangannya. Namun, Mika segera membuang mukanya dengan wajah masam dan tak ramah. Bahkan setelah Arki berdiri di depannya, Mika tetap tak mau melihat wajah cowok itu.
"Kenapa lo diem disini?" tanya Arki dengan suara beratnya.
"Menurut lo?" balas Mika dengan sinis. Wajar jika Mika marah. Ia rela membuang-buang waktu untuk mencari tasnya yang Arki bawa. Mika tak mengira Arki akan membawanya pulang, dan terus mencari tas itu ke setiap sudut sekolah.
"Ayo pulang. Ini udah malem."
Mika mendengus sebal. Bahkan setelah membuat Mika marah, Arki tak mau menurunkan egonya untuk sekadar mengucapkan kata maaf. Ia bangkit dan langsung menyambar tas ransel di tangan Arki.
"Malem mata lo! Salah siapa gue pulang malem kayak gini?" omel Mika.
"Ck! Ya lo yang bego. Kenapa juga harus nyari-nyari tas, padahal tas lo gue yang bawain," elak Arki tak mau kalah.
Mika makin melemparkan tatapan mematikan pada Arki. Lewat tatapannya itu Mika seakan-akan hendak memakannya hidup-hidup. Tatapan yang begitu nyalang itu membuat Arki tak karuan, ia sedikit salah tingkah, bukan salah tingkah seperti tersipu malu, tapi lebih ke serba salah harus bersikap bagaimana di depan Mika dengan aura yang berbeda itu.
"Seneng lo bisa ganggu gue terus? Lo seneng gue terus-terusan tersiksa di sekolah akibat ulah lo itu?"
"Gue-."
"Lo bisa bersikap dewasa gak sih? Lo bukan anak kecil yang sering jailin temen-temennya. Lo udah gede, gak seharusnya lo punya hobby kayak gitu!"
Arki tertunduk mendengar cercaan Mika yang secara tidak langsung menegur semua sikap kekanakannya. Baru kali ini Arki merasa lidahnya kelu untuk melawan omongan orang lain. Arki akui, dirinya salah karena keterlaluan terhadap Mika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Teen FictionGenre : Fiksi remaja, drama, romantis, angst. *** Mika percaya bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak kekal. Termasuk kebahagiaan dan kesedihan. Maka dari itu, Mika selalu yakin kesedihannya pasti berlalu, dan tergantikan oleh kebahagiaan. Namun...