Mika mencari-cari Arki di lapang basket, tapi tampaknya Arki tak ada di sana. Rupanya Arki tengah duduk di ayunan yang ada di taman bermain anak-anak. Mika menghampiri cowok itu, dan duduk di ayunan sebelahnya.
Arki menyadari Mika duduk di sana. Hanya saja, Arki tengah asik menengadahkan wajahnya untuk melihat langit malam.
Mika ikut melihatnya. "Terangnya bintang yang cuma segitu bikin tenang ya?" tanyanya.
"Gue lebih tenang kalo ada lo di sini." Arki meraih tangan Mika untuk digenggam. "Lo bisa terus ada sama gue, 'kan?"
"Gue rasa hidup gue udah bergantung sama lo. Gue pikir-pikir, kalo nanti lo gak ada atau pergi ninggalin gue, gue sama siapa ...?" ujar Mika dengan pandangan yang tertuju pada tangannya dalam genggaman Arki.
"Gue udah sayang banget sama lo. Konyol banget, 'kan? Dulu gue pernah benci sama lo, sekarang gue malah sayang." Mika menghela napas dan menunduk dengan bahu jatuh.
Arki mengangkat dagu Mika untuk meliriknya. "Gak ada yang konyol. Karena perasaan gak bisa diprediksi."
"Iya, justru itu. Karena perasaan orang gak bisa diprediksi, gue takut tiba-tiba lo berubah."
"Gue gak pernah sesayang ini sama orang sampe gak mau ninggalin lo. Gue bakal berusaha untuk tetap ada buat lo." Arki bertekad, tapi di hatinya terdapat keraguan.
Mika tersenyum manis. Senyum itu yang Arki tunggu-tunggu. Hanya melihat wajah Mika, Arki sudah merasa baik-baik saja. Kekhawatirannya sedikit mereda.
"Jadi, ada apa? Keliatannya lo lagi ada hal yang dipikirin. Ada yang ganggu pikiran lo?" tanya Mika hati-hati.
Arki menunduk sambil memainkan tangan Mika di pahanya. "Gue ngerasa orang tua gue gak pernah mengerti apa yang gue mau. Yang bisa mereka lakuin cuma atur hidup gue. Meskipun gue anaknya, tapi gue juga berhak hidup sesuka gue, 'kan?"
"Hidup lo ya hidup lo. Asalkan lo masih ada di jalan yang baik lo berhak atur hidup lo sendiri. Tapi mungkin orang tua lo kayak gitu karena mau hidup anaknya lebih baik," respon Mika.
"Tapi orang tua gak selalu benar." Arki menghembuskan napasnya kasar. Hampir saja Arki emosi di depan Mika.
Mika mengusap bahu Arki, supaya cowok itu lebih tenang. Mika tak bisa merespon apapun selebihnya, karena ia takut perkataannya dianggap salah oleh Arki.
Arki melirik Mika dengan wajah frustasinya. "Apa lo merasa bebas hidup di dunia ini, Mik?"
Ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, Mika hanya terdiam, dan tertunduk dengan senyum getir di bibirnya. Matanya tak lagi melihat Arki. Lalu, ia mendongak melihat bintang yang bertebaran di langit malam. Sedangkan Arki terus menatap lamat wajah Mika dari samping, menunggu cewek itu menjawab.
"Setelah tahu hidup di dunia ini seperti apa, yang gue rasain bukan kebebasan ..., tapi ketakutan." Mika menghela napas pelan, tapi terdengar berat. Akhirnya, Mika membalas tatapan Arki dengan mata yang tersirat makna mendalam. "Gue selalu ngerasa dunia ini gak adil. Gue selalu menyalahkan diri sendiri, kenapa gue harus lahir? ... Kenapa gue harus lahir kalo pada akhirnya hidup gue ini gak berguna sama sekali buat siapapun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Teen FictionGenre : Fiksi remaja, drama, romantis, angst. *** Mika percaya bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak kekal. Termasuk kebahagiaan dan kesedihan. Maka dari itu, Mika selalu yakin kesedihannya pasti berlalu, dan tergantikan oleh kebahagiaan. Namun...