45. 🌵Yang Tak Lagi Hangat🌵

82 14 8
                                    

Sabtu sore ini cafe yang menjadi lokasi untuk pertemuan Mika dengan teman layarnya semakin ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabtu sore ini cafe yang menjadi lokasi untuk pertemuan Mika dengan teman layarnya semakin ramai. Banyak muda-mudi yang mampir sekedar untuk menikmati ujung hari di malam weekend Sedangkan yang ditunggu tak kunjung datang, padahal Mika sudah tiba satu jam yang lalu.

Berkali-kali Mika melirik jam tangannya, bahkan ia nyaris bosan melihat bentuk benda yang melingkari tangannya itu. Tak jarang pula Mika melirik kearah luar lewat kaca yang bertuliskan nama cafe tersebut. Kebetulan tempat duduknya itu di dekat jendela kaca lebar yang mengarah langsung ke jalan raya.

Tak lupa, setiap suara lonceng pada pintu cafe terdengar, Mika selalu menoleh, berharap orang yang masuk memakai topi putih seperti topi yang dipakainya saat ini. Semakin sore, Ice Americano yang Mika pesan tadi semakin surut. Apa orang yang ditunggunya memang tidak akan datang? Satu jam lebih Mika menunggu.

Hingga matahari tenggelam di barat sana, netranya tak pernah menemukan laki-laki bertopi putih. Di sekitarnya mungkin banyak orang yang memakai topi, tapi tidak dengan warna putih. Mungkin ada suatu hal mendesak yang membuat teman layarnya itu tak bisa datang. Dengan berat hati, Mika pulang dan melepaskan topi putihnya.

Setiba di depan pintu pagar rumahnya, Mika mengarahkan pandangannya ke rumah Arki. Sudah sejak lama Mika tak melihat jendela kamar itu terbuka, dan kini Mika melihatnya, beserta dengan sosok yang ia rindukan.

Seolah ditarik oleh sorot mata Mika, Arki menggerakkan lehernya untuk menoleh, lalu pandangan mereka bertemu, cukup lama. Arki tak berekspresi sama sekali, wajahnya datar ketika melihat Mika. Mika tak menemukan lagi sorot hangat dari kedua bola mata Arki. Maka dari itu, ia lebih dulu memutuskan kontak mata dengan embusan napas yang berat. Kemudian, masuk ke dalam rumah.

Mika terlalu lelah untuk sekedar memikirkan kemana hilangnya sosok Arki yang ia kenal. Ia lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa melepaskan apapun yang dikenakan oleh tubuhnya.

Sedangkan di tempat lain, laki-laki dengan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya itu tak berhenti menatap layar 14in yang menyala di depannya. Sejak sore tadi, wajahnya nampak berekspresi sulit percaya. Kepalanya terus diisi dengan pertanyaan, bagaimana bisa?

"Mika ...?" gumamnya samar.

Ia tak pernah menyangka teman anonymous-nya selama ini berada dalam rentang tempat yang begitu dekat. Seharusnya sejak dulu Arka sadar bahwa Mika lah orangnya. Jika diingat-ingat lagi, keluarga Mika yang tertutup hampir mirip dengan apa yang diceritakan oleh teman anonymous-nya itu.

"Lagi ngapain, Bang Arka?"

Arka menggunakan jarinya dengan cekatan memindahkan isi layar menyala tersebut ke halaman utama ketika Arki tiba-tiba muncul dari belakangnya.

"Masuk tanpa ketuk pintu dulu?" sindir Arka, memicingkan matanya pada sang Adik.

"Arki udah coba ketuk pintu berkali-kali, tapi Bang Arka gak denger." Arki sudah duduk dengan nyaman di ranjang kakaknya.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang