LIMA BELAS⚔

720 59 0
                                    

Setelah kejadian itu, baik Sereina maupun Noah tidak pernah membicarakannya. Mereka berperilaku seakan tidak terjadi apa-apa. Kini mereka beserta Xaria dan Xavier sedang duduk di tanah lapang tempat mereka biasa berlatih.

"Bukannya Kakak tinggal sendiri?" Entah bagaiman Xavier mulai mengawali topik ini.

"Iya," balas Ina seraya mengunyah apel.

"Kakak tidak merasa kesepian?" Xaria memandang Ina dengan tatapan prihatin.

"Mungkin."

"Bagaimana kalau kita tinggal bersama Kakak?" Ucapan Xavier membuat beberapa pasang mata menatapnya sedikit terkejut.

"Ah benar juga! ayo tinggal bersama Aku juga bisa membantu mencuci atau pekerjaan lainnya," kata Xaria kegirangan.

"Tidak."

"Kenapa?" tanya Xavier.

Sebenarnya Xavier mengatakan itu juga tanpa pikir panjang. Dia menganggap Ina kesepian jadi dia berinisiatif untuk menanyakan hal ini apalagi kembarannya itu sangat lengket pada Ina. Walau dia masih kecil, dia merasa dia cukup baik dalam melakukan semua kewajibannya.

"Apa Kakak merasa kami adalah beban? tenang saja kami tidak akan membebanimu, kok." Xaria menjadi sedih mendengar penolakan Ina.

"Bukan karena itu," tukas Ina.

"Lantas?"

"Karena Aku tidak suka meninggalkan jejak."

Noah, Xavier, dan Xaria saling memandang tak mengerti ucapan Ina. Mereka terus berfikir apa yang sebenarnya Ina maksudkan. Namun tampaknya tidak ada yang menemukan jawabannya.

"Nah, kalau kalian bisa memukulku lebih dari dua kali, Aku akan memberikan kalian hadiah." Ina bangkit dari duduknya.

Xaria maupun Xavier tersenyum penuh semangat.

"Apa hadiahnya?" tanya Xaria mengikuti langkah Ina.

"Teknik baru yang Aku pelajari dua tahun lalu," balas Ina sedikit misterius.

"Kalau begitu Aku pasti akan menang," kata Xavier dengan mata menyala sedangkan Xaria hanya mendengus. Dia tidak heran lagi tentang betapa fanatiknya Xavier mengenai teknik-teknik baru.

"Jika kalian menang, pastikan besok datang lebih awal."

"Ya!" teriak Xavier dan Xaria berbarengan.

***

Seseorang sedang menulis pada lembaran kertas.

"Uhuk! Uhuk!"

Orang tersebut lantas menutup mulutnya. Bau anyir masuk ke dalam hidungnya. Tetesan demi tetesan mengalir melalui mulut yang berusaha ia tutupi. Tangan kanannya masih memegang sebuah pena mencoba mempercepat gerakannya walau sudah gemetaran. Ketika merasa sudah selesai ia segera berdiri. Tubuhnya sempoyongan, tetapi dia tetap mencoba berjalan.

Pranggggg

Tanpa sengaja dirinya menabrak sebuah vas. Dia sesekali hendak terjatuh. Dia memegang gagang pintu untuk membukanya. Perlahan pintu terbuka membiarkan cahaya masuk ke retina matanya. Helaan nafas kasar terdengar dari celah tangan kirinya. Dia kembali berjalan tertatih-tatih membiarkan ruangan yang ia tinggal berantakan. Dirinya bahkan tak bisa menutup pintu membiarkan pintu itu terbuka lebar. Setelahnya dia terus menyeret tubuhnya dan pergi ke suatu tempat yang penuh pepohonan lebat.

Beberapa jam berlalu

Ina berjalan ke sebuah tempat yang sangat ia kenali. Ketika hanya berjarak beberapa meter dari tempat itu dia lantas berhenti. Ina memandang pintu yang terbuka. Dia masuk menelisik keadaan sekitar. Matanya melihat vas yang sudah pecah disisi ruangan. Dengan acuh Ina semakin melangkahkan kakinya.

Tibalah dia di depan sebuah meja. Terdapat selembar kertas yang beberapa saat lalu baru saja ditulis pemiliknya. Ina segera mengambilnya melihat rentetan tulisan. Sudut mulutnya sedikit turun. Jarinya mengelus lembut pada sebuah noda darah yang telah mengering di sudut kertas.

"Kakak?" tanya seseorang dari belakang.

Tanpa berbalik badan Ina sudah tahu bahwa yang baru saja datang ialah Xaria dan Xavier. Yah, kemarin Ina menjanjikan teknik baru jika mereka berhasil mengalahkannya. Meski yang terjadi mereka tidak menang, Ina tetap akan mengajari mereka. Dan disinilah meraka.

"Kakak?" tanya Xaria untuk yang kedua kalinya.

"Kemarin Kakak bilang akan melatih kami. Kakak tidak berbohong, bukan?" ucap Xavier ganas.

Tak ada jawaban muncul membuat keduanya saling memandang. Ina masih diam membisu memandangi kertas yang dia pegang.

"Kak, apa Noah belum datang?" tanya Xavier melangkah sedikit.

"Tidak ada latihan hari ini," ujar Ina.

"Hah? kenapa? Kakak kan sudah berjanji!" kata Xavier kesal.

Xaria yang merasa ada sesuatu yang tidak beres segera memegang pundak Xavier untuk menahan kembarannya itu.

"Apa Kakak sibuk hari ini?" tanya Xaria.

"Ya. lebih baik kalian pulang."

"Tentu." Xaria menarik lengan Xavier yang langsung ditepis.

"Kenapa Kakak bersikap begini? Kakak kan tidak pernah ingkar janji. Dan dimana tuan-"

"Xavier," potong Xaria.

"Hari ini dingin, jangan lupa memakai selimut," ucap Ina entah maksudnya apa.

"Ya, kami akan mengingatnya." Xaria kini mencengkeram lengan Xavier kuat membuat empunya mengadu kesakitan.

"Xaria, mulai besok tinggalah disini."

"Hah?" balas Xavier bingung.

Sedangkan Xaria hanya menggigit bibir bawahnya. "Ya, kami akan datang lagi besok.

Xaria membawa Xavier yang berusaha lepas darinya. Ketika dia melihat Noah datang, dia juga menarik Noah pergi. Sebenarnya Xaria tidak tahu apa yang terjadi. Satu hal yang pasti bahwa Ina memerlukan waktu sendiri untuk saat ini.

Lakukanlah semua yang ingin kamu lakukan. Aku akan menunggumu tawamu saat kamu benar-benar sudah menyelesaikan masalahmu. Jangan membuatku menyesal karena telah menjadikanmu muridku.

Ina meremas kertas yang ia pegang. Dia menyusuri jejak yang tanpa sengaja Arthur tinggalkan. Ketika jejak kaki menghilang Ina semakin meremas tangannya. Jejak kaki memang hilang tetapi digantikan dengan jejak lain. Itu adalah jejak sesuatu yang diseret. Dan jejak itu cukup jauh membuktikan betapa keras kepalanya orang yang membuatnya. Ina mengambil potongan kain di sebuah semak.

Dia terus mengikuti jejak itu sampai dia berhenti di jalan buntu. Ina melihat ke bawah. Ya jalan buntu itu buka jalan buntu biasa. Itu adalah sebuah tebing yang berada tepat di samping jurang yang dalam. Ina bahkan tidak bisa melihat apa-apa dibawah sana. Yang ia lihat hanya pohon-pohon lebat. Kemungkinan untuk mengambah tempat itu sangat kecil karena saking curamnya.

Ina sudah lama mengetahui bahwa Arthur memiliki penyakit mematikan. Dia tidak bertanya maupun ingin bertanya. Hanya saja Ina tidak menyangka Arthur akan melompat dari atas sini karena dia tidak ingin memperlihatkan waktu sekaratnya pada Ina. Sampai akhir pun Arthur tetap bersikap arogan. Lutut Ina terasa lemas. Dia kemudian bersimpuh dengan pandangan lurus ke bawah. Tak sekalipun mengalihkan matanya.

"Saya pasti akan melakukannya tidak peduli bagaimana rintangannya. Saya tidak akan membuat anda menyesal, Guru."

Ina menunduk memberi penghormatan terakhir pada Arthur. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Namun alam pun tahu bagaimana perasaan Ina saat ini. Seakan menghiburnya, salju pertama perlahan mulai turun.

"Saya akan selalu memegang kata-kata saya hari ini." Ina kembali mengepalkan tangannya penuh tekad.





Guruuuuu tidakkk huhuhu😭😭😭😭
Jangan lupa like😭😭😭


SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang