Setelah uji praktek, kini banyak yang berusaha dekat dengan Ina. Mereka awalnya tampak segan sebab Ina terlihat kurang mampu. Tetapi setelah menyaksikan kemampuan Ina mereka mulai memahami bahwa Ina benar-benar berbakat. Ina yang menerima antusias dari mereka hanya bisa tersenyum ramah. Dia dengan senang hati mulai berbaur. Semakin mendengar Ina berbicara, semakin kagum mereka.
Di lain sisi Julia serta dua orang temannya menatap ke arah Ina dengan tidak suka. Kylie maupun Medeline tahu bahwa Julia dari awal tidak menyukai Ina. Mereka sebenarnya tidak tahu mengapa. Hanya saja mereka tidak berani bertanya. Mereka mencibir Ina agar suasana hati Julia membaik. Meski nampaknya usaha mereka sia-sia.
Julia sendiri masih kesal. Dia mengingat bagaimana dirinya merasa dipermalukan oleh Ina. Ia tidak menyangka Ina akan merombak adegan seperti itu. Julia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia merasa harga dirinya jatuh. Dia awalnya ingin Ina dipandang rendah. Keinginannya itu bukannya terkabul malahan sebaliknya, Ina makin disukai orang-orang. Yang seharusnya dikagumi adalah dia bukan Ina. Itu yang dia pikirkan.
Ketika jam istirahat Julia beserta dua orang temannya tak sengaja berjumpa dengan Ina dan Lia di koridor. Julia menghadang jalan mereka. Dia menatap Ina dengan angkuh.
"Hei, jangan menghalangi jalan," tukas Lia mengernyit.
"Puas kamu?" ujar Julia.
"Ada masalah apa?" balas Ina lembut.
Mendengar nada bicara Ina membuat darah Julia seakan mendidih. "Jangan berpura-pura bodoh! Kamu sengaja kan melakukan adegan itu?!" tekan Julia.
"Kenapa? Bukannya bagus, ya? Semua orang juga puas dengan penampilan kita," ucap Ina santai.
Jalang ini! Batin Julia.
"Kamu berniat memperlakukanku sejak awal, kan?"
"Bukannya kamu duluan yang ingin melakukan itu?" tanya Ina balik.
Julia diam sejenak. "Tidak usah membalikkan kata-kata!"
"Apa sekarang kamu bertindak seakan kamu yang menjadi korban?" ejek Lia.
"Diam! Julia tidak sedang bicara padamu!" timpal Kylie.
"Sudah selesai? Mungkin tadi agak menganggumu. Tapi karena adegan itu pula Mrs. Adela memberikan kita pujian. Jadi tidak perlu berdebat, toh itu hanya akting saja," kata Ina memberi pengertian.
Ina melirik beberapa orang yang menyaksikan mereka berdebat. Dia tersenyum tipis mengartikan itu bukan sesuatu yang penting. Dia mengajak Lia pergi. Ina melewati Julia. Mereka berdua saling bertatapan. Ina berhenti tepat di samping Julia. Dia masih menyunggingkan senyum indahnya.
"Kita kan sekelas, bagaimana kalau kita saling memahami karena kita akan sering bertemu. Apalagi kita saja belum cukup mengenal satu sama lain. Aku sangat berharap kita bisa menjadi teman." Ina kembali berjalan dengan santai seolah-olah tidak melihat Julia yang makin kesal dibuatnya.
"Beraninya dia bilang begitu," decak Medeline.
Mereka bertiga menyaksikan Ina dan Lia yang menjauh.
***
"Arghhh! Dasar jalang!" umpat Julia sambil melempar tasnya.
"Apa dia pikir dia itu hebat?!"
Julia berbaring di ranjangnya yang empuk. Dia melihat sekeliling kamarnya yang dipenuhi perabot mewah.
Masih belum cukup! Kenapa? Kenapa Aku terus memikirkannya?
Julia menggigit kuku jarinya. Dia entah mengapa merasa resah. Dia merenung sejenak.
"Tidak bisa begini."
Julia keluar dari kamarnya. Dia berjalan ke sebuah ruangan. Sampai di depan pintu dirinya mulai merasa ragu. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Akan tetapi dia berhenti sebab tak yakin. Ia tetap berada di posisinya beberapa menit. Hingga pintu perlahan terbuka menampilkan kepala pelayan. Julia segera berdiri sigap.
"Apa ayah ada di dalam?" tanyanya.
"Iya, tuan baru saja kembali dari kantor," balas Gilbert.
"Ada yang ingin Aku katakan pada ayah," jelas Julia.
"Tentu. Silakan masuk, Nona," Gilbert mempersilakan.
Julia masuk ke ruang kerja ayahnya. Dia dan ayahnya sebenarnya tidak terlalu dekat. Itulah alasan mengapa ia merasa canggung. Selain itu, Julia agak kesulitan ketika berbicara dengan ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya mudah marah sehingga dia takut menyinggungnya.
"Ada apa?" tanya Jeremy tanpa melihat Julia.
"Emmm... itu... a-apa ayah sungguh akan menjadi donatur di sekolah?" tanya Julia.
Jeremy nengernyit tak nenyangka Julia akan menanyakan sesuatu yang tidak penting. "Ya. Bukannya itu yang kamu mau?"
"Benar," ucap Julia kikuk.
"Aku harap kamu tidak mengecewakanku seperti Jayson."
Jayson adalah adik Julia. Dia selalu berbuat onar dimana dan kapan saja dia mau. Jeremy sering dibuat sakit kepala karena harus membereskan hal-hal yang ditinggalkan Jayson.
Julia mengangguk pelan. Dia masih ingin mengatakan sesuatu, namun dia ragu.
"Apa lagi?" tanya Jeremy.
"Ah, tidak ada."
Julia buru-buru pergi. Saking tergesa-gesanya dia membuat dirinya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Yang ditabrak olehnya ternyata adalah Xaria yang sedang membawa keranjang beserta cucian kotor.
"Maaf, Nona. Saya tidak sengaja," kata Xaria menunduk.
"Gimana, sih?! Kalau kerja yang becus! Huh!"
Julia meninggalkan Xaria yang sibuk memasukkan baju yang jatuh ke dalam keranjang. Xaria mengamati Julia yang terlihat sedang dalam suasana hati yang buruk. Dia kemudian berdiri lalu melangkah ke ruang cuci.
Julia berdiri di depan jendela kamarnya. Dia memandang taman rumahnya yang terlihat asri. Pikirannya melayang entah kemana. Sesungguhnya dia tidak membenci teman sekelasnya yang bernama Stela pada awalnya. Melainkan dia melihat bayangan orang lain pada diri Stela. Orang itu adalah sepupunya, yaitu Sereina.
Meskipun dia dulu sering bermain bersama, itu tidak cukup membuatnya menyukai Ina dengan tulus. Dia selalu merasa iri pada Ina. Ia iri dengan semua yang dimiliki Ina mulai dari kekayaan sampai kasih sayang orang tua. Dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Setelah kematian orang tua Ina, Julia merasa sedikit senang. Apalagi ayahnya kini memegang kendali atas perusahaan Bailey. Dia menjadi lebih senang ketika mendengar Ina dicampakkan oleh ayahnya.
Julia sendiri tidak tahu semua perbuatan Jeremy tetapi, dia ikut menikmatinya. Sesuatu yang sampai saat ini belum dia dapatkan adalah tinggal di mansion utama keluarga Bailey atau mansion Ina sebelumnya. Kendati demikian, ini sudah cukup baginya. Dia memiliki semua yang awalnya dimiliki Ina. Kemudian, dia pikir dia tidak akan berjumpa lagi dengannya.
Kehadiran Stela yang entah bagaimana mengingatkan dia pada Ina tentu saja membuatnya gelisah. Dia yakin bahwa mereka berdua adalah orang yang berbeda. Dia yakin ayahnya dapat menyembunyikan Ina dengan baik. Tetapi rasa gundahnya tak kunjung reda. Mungkin karena setiap melihat mata Stela, instingnya selalu mengatakan bahwa dia adalah musuhnya.
"Tenang... Sereina tidak mungkin kembali," bisiknya terus menerus.
Yok gais jujur siapa yang kangen sama paman Jeremy? Akhirnya ketemu lagi ya wkwkwk☺️☺️
Buat kalian yang pengin Ina cepet-cepet bisa ketemu Jeremy bisa like dan komen, ya!😉
Makin banyak like makin banyak komen makin cepet update tentunya😚😚😚
See you!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sereina
FantasíaBELUM REVISI (18+ banyak adegan kekerasan dan manipulatif. Diharapkan untuk tidak meniru maupun melakukan hal-hal tersebut di kehidupan nyata. Cerita ini hanya fiksi semata.) Seorang anak harus menyaksikan kematian tragis dari kedua orang tuanya. Da...