DELAPAN⚔

1.1K 73 0
                                    

PERINGATAN!
Cerita ini mengandung unsur kekerasan. Cerita ini juga hanya imajinasi semata. Apabila ada adegan yang kurang baik, harap jangan ditiru. Dan mohon jangan disamakan dengan kehidupan di dunia nyata. Bayangkan saja anda sedang membaca cerita Ironman.🐔

Butuh waktu yang lama untuk Sereina bisa beradaptasi. Awalnya hanya satu putaran sampai akhirnya terus bertambah sedikit demi sedikit. Ina tidak pernah mengeluh karena selama lebih dari dua minggu ini Arthur hanya menyuruhnya untuk berlari.

Ina kini sudah kuat lari 10 kali tanpa istirahat. Walau setiap bangun tidur badannya terasa pegal-pegal. Dia tetap melakukan apa yang Arthur perintahkan dengan berusaha semaksimal mungkin.

"Mengapa Guru suka beladiri?" tanya Ina yang duduk di samping Arthur. Ia tau kalau Arthur mengoleksi banyak sekali berbagai macam buku seni beladiri.

Arthur melirik sebentar, "pertanyaan yang tidak penting."

Ina tetap tersenyum tak tersinggung. "Lalu, apa suatu saat saya bisa mengalahkan anda?"

"Mungkin," ujar Arthur dengan nada agak meremehkan.

"Bagaimana kalau kita mencobanya," kata Ina.

Arthur yang mendengar menaikkan sedikit alisnya. " Belajarlah bersikap lebih sabar."

Ina terdiam menyaksikan Arthur yang berdiri dan berjalan ke tanah lapang.

"Jika tidak ingin menyesal kemudian," lanjutnya seraya memandang Ina dengan arti yang jelas.

Ina tertawa kecil mengikuti Arthur dari belakang. "Saya hanya takut waktu yang saya punya tidak terlalu cukup."

"Karena itu kamu harus bekerja keras mulai saat ini." Arthur segera memasang kuda-kuda. "Cobalah untuk bertahan," lanjutnya.

Ina tak menjawab. Dia hanya fokus dengan gerakan Arthur. Awalnya ia masih bisa mengelak, namun lama kelamaan gerakan Arthur mulai tidak terbaca.

Dugghhh

Pukulan Arthur berhasil mengenai perut atas Sereina membuat tubuhnya terpental ke belakang. Alhasil Ina terjatuh dengan keras.

"Tetap biarkan matamu terbuka," ujar Arthur setelah Ina kembali ke posisinya.

Brughh

Ina kembali tersungkur. Ia bahkan sedikit kesulitan untuk berdiri. Arthur mengamati luka lebam di tubuh Sereina.

"Hari ini cukup sampai disini. Ini baru permulaan," kata Arthur.

"Belum! Saya masih kuat. Biarkan saya berlatih lebih lama lagi." ujar Sereina gigih.

Arthur menghela nafas melihat Ina yang sangat keras kepala. "Lanjutkan," timpalnya singkat.

Ina mengangguk penuh semangat. Tanpa mengedipkan matanya terus berusaha bertahan dari serangan Arthur. Ia juga mendengarkan dengan seksama ketika Arthur memintanya untuk menyerang. Mereka berlatih selama berjam-jam.

Bruukkk

Kaki Ina sudah tidak kuat menopang tubuhnya. Badannya kini dipenuhi luka lebam. Ia bahkan merasakan hidungnya mengeluarkan cairan merah berbau anyir. Tak lupa pakaiannya yang penuh dengan debu. Serta rambutnya yang awalnya tertata rapi sekarang kusut tak berbentuk.

"Pulang dan obati lukamu," kata Arthur tanpa bisa ditolak.

Ina yang merasa tubuhnya tidak sanggup juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kembali dengan terseok-seok. Giginya menggigit bibir bawahnya karena merasa perih dimana-mana.

Di lain sisi, Emma sangat khawatir sebab Ina masih belum pulang. Dia memang tidak tau kemana Ina pergi setelah pulang sekolah karena ia tidak berani bertanya. Biasanya Serina sudah pulang saat ini, namun sampai hampir larut Ina belum menunjukkan batang hidungnya.

Tok Tok Tok

Mendengar ketukan pintu, Emma berasumsi bahwa itu adalah Ina. Ia segera membuka pintu. Betapa terkejutnya dirinya saat melihat keadaan Ina yang babak belur seperti habis berkelahi.

"Apa Anda baik-baik saja? Mengapa bisa begini?" tanya Emma semakin khawatir.

"Bawakan Aku obat," tukas Ina tampa menjawab bertanyaan Emma.

"Ah! Iya iya akan saya bawakan. Tunggu sebentar!" ucap Emma cepat.

Ina berjalan menuju kamarnya. Ia membanting tubuhnya. Tak lama kemudian Emma datang sambil membawa obat luka.

"Siapa yang memukul anda?" tanya Emma seraya mengoleskan obat.

Ina masih tak bergeming. Dahinya mengernyit setiap kali lukanya disentuh. Emma ikut terdiam. Ia mencoba fokus mengobati luka Ina menyembunyikan keingintahuannya. Selesai mengobati, Emma masih setia duduk di samping Sereina menunggu nona kecilnya menjelaskan situasi yang baru saja terjadi.

"Emma, keinginanmu untuk hidup damai disini itu adalah hal yang mustahil," ucap Ina mengawali pembicaraan.

"Apa maksud anda?" tanya Emma.

"Kamu kira setelah dia melakukan itu dia akan melepaskanku?" tanya Ina balik.

"Tuan ... maksud saya orang itu adalah paman anda, dia pasti tidak akan menyakiti anda lebih jauh lagi," tukas Emma meyakinkan.

"Kamu lupa dia membunuh adik kandungnya sendiri? Beberapa tahun lagi, dia akan merasa bahwa Aku masih ancamannya. Dan dia juga akan membuhuhku."

"Tidak, nona. Jika nona merasa tidak aman, bagaimana kalau kita pergi dari sini? Saya akan menjaga anda." Emma menggenggam tangan Ina erat.

"Hidupku dipertarukan. Siapa yang memulai pasti ada yang mengakhiri. Dan siapa yang menang masih belum ada yang tau," kata Ina.

"Jangan berbicara seperti itu."

"Aku akan mengambil semua yang dia rebut. Aku juga akan menghadirkan kematian yang sangat mengerikan untuknya."

"Tidak! Saya mohon jangan berpikir seperti itu!" teriak Emma histeris mendengar ucapan dari seorang anak yang sangat menakutkan.

"Aku harus membalaskan dendamku," kata Ina tegas.

"Tuan ... dan nyonya juga tidak berharap anda akan mengambil jalan ini." Emma berlutut meneteskan air mata memohon Ina menarik ucapannya.

"Emma, kamu adalah pelayan yang setia. Apa sekarang kamu akan mengkhianati tuanmu?" Ina membalas cengkeraman tangan Emma.

"Saya tidak akan menghkianati anda sampai mati. Saya ... " Tangis Emma semakin kencang.

"Lalu apa kamu ingin Aku mati juga? Tanpa memberikan keadilan bagi kedua orang tuaku dan para pelayan setia yang dia binasakan?"

"Hiks ... hiks ..."

Emma tak bisa lagi menyangkal. Jujur saja ia sangat membenci Jeremy namun dia tidak ingin Ina ikut terjerumus ke dalam kebencian itu. Ia sangat berharap Sereina bisa hidup bahagia karena dirinya tahu masa depan seperti apa yang akan menanti Ina jika mengambil jalan itu.

Tuan, Nyonya apa yang harus saya lakukan?

Emma kembali memandang Ina merasa sangat kasihan. Anak sekecil ini bisa memiliki kebencian yang begitu besar. Mengapa ada orang yang dengan tega membuatnya terbutakan oleh nafsu dan kemarahan. Emma tak kuasa bila membayangkan Ina suatu saat akan tenggelam dengan dendamnya itu.

"Mulai hari ini hidupku, tujuan hidupku, cita-citaku, dan bahkan kebahagiaanku adalah membalaskan dendam sampai dia berharap lebih baik untuk mati," kata Ina seakan menjadi sumpah yang mutlak.



HAI GAESS ...
Udah lama ga up, nih!
Yah biasa ... Aku berharap banget ada yang like walau cuma satu. Karena like itu yang buat Aku semangat nulis. Jadi ayo pencet bintang dan dukung author, ya😁😁

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang