SEPULUH⚔

869 55 0
                                    

4 tahun kemudian

Sereina cukup menikmati hari-hari sibuknya. Kini ia sudah bersekolah di tingkat menengah pertama. Sekarang Ina tampak serius berbeda ketika ia masih sekolah dasar. Dulu dirinya berpura-pura bodoh sedangkan saat ini dia terkenal karena kecerdasannya sehingga menempati urutan pertama di sekolah. Di sisi lain Noah tentu saja menempati posisi kedua. Karena itu lah Noah sangat bersemangat untuk bersaing dengan Ina. Padahal dia sendiri tahu bahwa dia tidak bisa mengalahkan Ina sama sekali.

Walau begitu Ina tetap tidak memiliki teman. Pasalnya gosip mengenai dirinya yang digadang-gadang jelmaan iblis terus tersebar. Namun Ina tidak terganggu sama sekali. Buktinya ia masih dengan santainya membaca buku ketika beberapa pasang mata menatapnya ngeri.

"Ina!" panggil seseorang membuat fokus Ina buyar.

Ina melihat Noah melambaikan tangannya penuh semangat. Muka bonyok Noah akibat dipukili terpampang jelas. Namun senyum Noah tak surut sama sekali. Memang sampai saat ini pun Noah selalu menjadi bahan bullying. Apalagi Theo juga bersekolah di tempat yang sama dengan mereka berdua. Alhasil Noah dibully setiap hari. Walau begitu Ina tetap tidak membantu Noah. Biarpun Ina selalu dingin padanya Noah tetap tidak marah. Ia juga tidak berharap Ina mau menolongnya. Baginya Ina mau berteman dengannya lebih dari cukup.

"Hemm, ayo pulang," ujar Ina memimpin jalan.

"Hah ... hari yang melelahkan," gumam Noah yang masih terdengar di telinga Ina.

"Kenapa kamu tidak mencoba melawan?" tanya Ina.

Mata Noah mengerjap beberapa kali sedikit tak percaya Ina menanyakan hal ini. "Mau melawan pun tidak ada gunanya. Lebih baik diam saja daripada melawan mereka malah akan memukul lebih keras," jawab Noah ringan.

Ina menatap ekspresi Noah yang acuh tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi.

"Kalau kamu dipukuli juga apa kamu akan melawan mereka?" tanya Noah balik.

Ina tersenyum penuh arti. "Aku akan membunuh mereka," katanya.

Noah terkesiap sebentar lalu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Ina yang terdengar lucu. "Memangnya kamu tidak takut ditangkap polisi?" timpal Noah menakuti.

"Polisi tidak akan bisa menangkapku," balas Ina seraya menatap ke depan.

Noah merasa Ina punya sisi yang aneh ketika bergurau. Namun dirinya tidak tahu bahwa Ina serius dengan ucapannya.

"Haha leluconmu sungguh menarik. Bagaimana caranya kamu bisa membunuh mereka," tukas Noah bercanda.

Ina berhenti berjalan kemudian tersenyum miring membuat Noah kebingungan. "Apa kamu penasaran?"

"Y-ya? Entahlah," kata Noah gugup.

"Lupakan."

"Kenapa? Apa kamu pikir Aku merasa takut?" ujar Noah ganas seraya mengejar Ina.

"Saat kamu melawan mereka kamu akan tahu," balas Ina.

***

Sereina masuk ke dalam rumah. Ia memakan sup kentang tadi pagi yang ia masak sendiri. Setelah empat tahun terakhir Emma menjadi sakit-sakitan. Mungkin karena usianya yang sudah lanjut usia. Ina terpaksa melakukan semuanya sendiri. Tetapi Ina tidak merasa terbebani. Dirinya cukup puas dengan kehidupannya saat ini.

Ina mengganti pakaiannya segera. Kemudian dia berjalan ke kamar Emma saat ini. Ketika membuka pintu Ina melihat sosok Emma yang berbaring. Selama beberapa menit Ina masih tetap di tempatnya.

"Anda sudah pulang?" tanya Emma yang mendengar pintu terbuka namun tak kunjung melihat Ina.

"Ya." Ina mendekati Emma yang kini hanya bisa berbaring seraya menatap langit-langit kamar.

"Bagaimana sekolah anda hari ini?"

"Seperti biasa membosankan tidak ada yang berubah."

Ina duduk di samping Emma. Dia merasakan tangan Emma yang dengan pelan menggenggam tanganya. Ina membiarkan tangannya dipegang oleh Emma. Emma yang melihat tersenyum tipis memperlihatkan banyak kerutan di sekitar matanya.

"Dimana teman anda? Mengapa dia tidak berkunjung?"

Emma mengedarkan sedikit matanya mencari Noah. Ya, hanya Noah lah teman Ina saat ini. Noah kerap kali berkunjung untuk belajar bersama Ina. Walau hanya Noah yang mau menjadi teman Ina, Emma merasa sangat senang. Akhirnya Ina mau berbaur dengan orang lain. Apalagi menurutnya Noah adalah anak yang baik.

"Dia tidak mungkin datang setiap hari. Jadi, jangan mencarinya," kata Ina.

"Saya hanya merasa lebih tenang ketika dia bersama anda," balas Emma terkekeh pelan.

"Jujur saja dia itu sangat merepotkan," dengus Ina membuat Emma kembali terkekeh.

Tak ada yang berbicara. Ruangan itu sangat hening meski ada dua orang disana.

Emma memandang wajah Ina lekat. "Anda tumbuh menjadi gadis yang cantik," puji Emma.

"Apa pentingnya memiliki wajah yang cantik."

"Tentu saja penting. Suatu hari anda kan akan menikah."

"Aku bukan seorang anak yang berkhayal akan menikahi pangeran suatu saat nanti. Pikiranmu terlalu jauh," ucap Ina dingin.

Emma tak menjawab apa-apa lagi. Di sisi lain Ina ikut bungkam.

"Aku akan mengambil air untuk mencuci wajahmu." Ina beranjak dari duduknya.

"Tidak, hari ini terasa dingin," ujar Emma.

Ina memandang raut Emma. Dia membisu lalu berjalan ke arah jendela menikmati pemandangan pepohonan yang rimbun di samping rumahnya.

"Saya harap suatu saat nanti anda akan membuka hati anda kembali," ujar Emma.

"Apa itu sebuah perintah?" tanya Ina.

"Hahaha ... bukan, ini adalah permintaan saya yang hanyalah seorang wanita tua," kata Emma.

"Karena itu Aku tidak bisa menjanjikannya."

"Lagi pula saya tidak berharap banyak." Emma menatap langit-langit kamar yang dipenuhi dengan debu. "Saya selalu berdoa agar anda hidup  bahagia."

"Aku harap begitu."

Emma menatap tubuh kurus Ina yang membelakanginya. Ia masih ingat ketika Ina dilahirkan. Dia juga ingat senyum lebar Ina yang selalu terpampang jelas ketika dirinya diam-diam memberinya beberapa coklat.

"Maafkan saya."

"Untuk apa kamu minta maaf?" tanya Ina.

"Untuk segalanya."

"Jika karena Aku belajar cara membunuh orang, kamu tidak perlu menyalahkan dirimu. Itu murni karena keinginanku sendiri."

"Yah ... hal tersebut salah satunya," Emma tersenyum. "Tapi, sampai saat ini ... saya tidak bisa membuat anda tersenyum seperti dulu ... "

Ina tak menjawab lagi. Matanya fokus melihat dedaunan yang tertiup angin.

"Lagi pula tidak akan ada yang bisa membuatku tersenyum seperti dulu. Aku selalu tahu semua usaha yang telah kamu lakukan. Meski begitu terima kasih atas segala yang telah kamu lakukan."

Ina berjalan menuju Emma yang kini memejamkan mata. Tak lupa senyum indah masih terpajang di wajahnya.

"Sebab itulah ... selamat beristirahat dengan tenang ..." kata Ina mengakhiri percakapan terakhir mereka.

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang