SEMBILAN BELAS⚔

704 44 0
                                    

Ina berdiri di depan sebuah pintu. Dia mengetuknya dengan mantap.

Tok Tok Tok

"Masuk," ucap seseorang dari dalam.

"Selamat sore, Pak," sapa Ina ramah.

"Sore. Ada apa?" tanya Kepala Sekolah padanya.

"Saya hanya ingin mengajukan satu permohonan."

"Apa itu?"

Ina terdiam cukup lama tampak berpikir. "Bisakah anda mengijinkan saya untuk memakai nama sekolah ini untuk mendaftar sekolah lanjutan?"

"Tentu saja boleh," ujar Kepala Sekolah bingung mengapa Ina menanyakan ini.

"Bahkan jika saya tidak dapat kembali, saya meminta anda menerima dan menyetujui siapa saja yang mengatasnamakan saya."

"Kalau begitu tidak bisa. Kamu harus datang jika ingin menerima tanda tangan dan lain-lain dari saya."

"Permintaan saya ini tidak terlalu sulit. Bisakah anda menyanggupi?" paksa Ina.

"Tidak. Kalau begitu bisa saja ada orang lain yang memakai namamu dan menyalahgunakan data-data penting dari sekolah ini."

Kepala Sekolah menentang keras karena takut suatu hal buruk terjadi. Dia tidak ingin melibatkan pekerjaannya.

"Saya dapat menjamin hal itu tidak akan terjadi," kata Ina meyakinkan.

"Pulanglah. Jangan lagi membahas ini," tolak Kepala Sekolah.

Bukannya beranjak dari duduknya, Ina malah tetap berada di posisinya dengan senyum misterius.

"Saya harap anda memikirkan kembali."

"Memikirkan apa? Sudah lupakan saja!"

"Siswi di sekolah ini bernama Jane. Tinggal di dekat peternakan tuan Frank. Berada di kelas VIII C. Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya meninggal ketika dia berumur lima tahun. Lalu..."

"Berhenti! apa maksud kamu mengatakan ini?" tanya Kepala Sekolah penuh antisipasi.

"Saya mengetahui rahasia anda. Rahasia tentang anda yang berhubungan dengan salah satu siswa. Dengan menjamin nilai dan biaya hidupnya dengan syarat dia mau melakukan hubungan badan dengan anda. Pelecehan seksual juga pernah terjadi kepada beberapa siswi lain. Seperti ..."

"Cukup! hentikan omong kosongmu, keluar!!" teriak Kepala Sekolah merasa terancam.

"Anda masih tidak mau mengakuinya?" Ina tertawa ironi.

"Mengakui apa? Memangnya apa yang ku lakukan?"

Ina tak membalas, mengeluarkan sebuah benda dari saku roknya.

"Ssttt... jangan bersuara."

Kepala Sekolah mengenali bahwa itu adalah suara dirinya. Kejadiannya baru beberapa waktu yang lalu.

"Tapi Pak, ini..."

Terdengar suara desahan dari alat perekam suara. Ina memegangnya tanpa ekspresi.

"Hentikan!!" teriak Kepala Sekolah merasa tidak tahan lagi.

"Seorang guru melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual pada beberapa muridnya. Kira-kira apa yang akan terjadi jika beritanya sampai tersebar," Ina menyunggingkan senyumnya.

"Kamu mengancam?" tukas Kepala Sekolah marah.

"Saya hanya ingin mengajukan satu hal. Andalah yang memaksa saya melakukan ini."

Ina berdiri dengan santai. Dia meraih gagang pintu. Ia berbalik menatap wajah Kepala Sekolah.

"Kalaupun anda ingin menyingkirkan barang bukti, bukan hal yang sulit untuk menyebarkannya dengan cara lain. Oleh sebab itu, pikirkan kembali ajuan saya."

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang