TIGA PULUH⚔

507 38 1
                                    

Hubungan Ina dan Vera sebagai teman sekamar tidak bisa dikatakan dekat. Hari pertama mereka bertemu Vera memang nampak ramah. Tetapi, setelah tahu Ina dari kelas unggulan sepertinya membuat Vera tidak terlalu menyukainya. Hal ini dapat dilihat dengan interaksi mereka berdua yang tidak pernah berbicara satu sama lain. Ina sendiri tidak pernah ambil pusing. Lagipula dia memang tak ada niat untuk menjalin pertemanan dengan Vera.

Ina baru saja membuka pintu kamar. Ketika pintu terbuka terlihat Vera dari arah luar hendak meraih gagang pintu. Dia menatap Ina sejenak. Setelah itu dia melewati Ina begitu saja. Ina hanya melirik dari ekor matanya. Dia lantas menutup pintu seakan tak peduli dengan sikap Vera.

"Menyebalkan," decak Vera selepas Ina pergi.

Vera selalu bermimpi menjadi seorang aktris terkenal. Karena alasan itulah dirinya mati-matian supaya bisa masuk ke Harrlich. Dia bahkan memohon pada ayahnya untuk membantu. Akan tetapi yang ingin masuk Harrlich juga rata-rata memiliki latar belakang yang bagus. Walau begitu Vera yakin kalau dia pasti bisa masuk. Dia pikir bakatnya cukup hebat. Namun apa daya. Juri menganggap pesonanya tidak terlalu menonjol. Apa mata mereka buta? Aktingnya dia rasa sangat bagus. Masa iya dianggap kurang dengan alasan kurang menarik.

Walaupun begitu akhirnya Vera berhasil masuk. Yah, meski cuma kelas B. Kendati demikian cukup membuat orang-orang kagum padanya sebab untuk bisa masuk ke Harrlich merupakan hal yang sulit dikarenakan ketetatannya.

Dia berharap memiliki teman sekamar yang berada di jurusan yang sama supaya bisa berkomunikasi dengan mudah. Alangkah senangnya ia ketika mendengar Ina di jurusan yang sama. Dia bahkan lebih tak menyangka teman sekamarnya berasal dari kelas S. Dia mengira bahwa dirinya akan memiliki relasi yang menguntungkan. Tapi kenyataan bahwa Ina bukan dari keluarga terpandang membuatnya kecewa. Di samping itu dia merasa iri. Bagimana tidak, dia memakai segala cara untuk masuk Harrlich bahkan memakai nama keluarganya dan dia hanya bisa sampai ke kelas B. Dia merasa harga dirinya jatuh. Satu hal penting yang dia lupakan adalah bahwa Ina bisa masuk ke kelas S juga berkat bakatnya yang tidak semua orang miliki termasuk Vera. Dia merasa tersaingi dengan Ina yang menurutnya bukan siapa-siapa.

***

Ina duduk di pinggir danau. Matanya memperhatikan air yang tenang tanpa riak. Dia menilik dari pantulan air bahwa ada seseorang yang mendekat kemudian duduk di sebelahnya.

"Ah, sudah lama Aku tidak memancing," kata orang di sebelah Ina.

Ina diam saja seperti tak merasa diajak bicara. Orang di sebelah Ina memandangnya sebentar. Ia kembali berbicara karena tidak mendapat respon dari Ina.

"Aku rasa Aku harus membeli alat pancingan yang baru." Orang itu kembali melirik. "Apakah menurutmu ikan di sini besar-besar?" tanyanya.

Ina memandang sosok di sebelahnya beberapa detik lalu kembali menatap danau. "Apa anda sudah siuman?" tanya Ina.

"Ya, berkat kamu."

Orang di sebelah Ina tak lain dan tak bukan adalah orang yang beberapa waktu lalu Ina tolong. Lelaki tua itu terus memperhatikan Ina. Dia merasa bahwa gadis di sampingnya itu sedikit aneh.

"Mengapa anda mencari saya?" tanya Ina seraya memandang lelaki itu.

"Kita hanya tidak sengaja bertemu," jelasnya.

Mereka berdua membisu. Merasa tidak enak dengan suasanya membuat lelaki tua yang bernama Benjamin itu kembali membuka suara.

"Hey, Nak. Apa kamu tidak memerlukan sesuatu?"

"Tidak ada."

"Errmm, apa kamu butuh uang?"

"Tidak."

Benjamin memandang keatas dan kebawah. Dia menganggap Ina bukan anak orang kaya. Lalu, kenapa Ina menolak tawarannya?

"Kamu tahu siapa aku, bukan?" tanya Benjamin.

"Iya, saya melihat kartu nama anda waktu itu," balas Ina.

"Kamu tidak ingin menerima imbalan setelah menolongku?"

"Saya tidak berniat meminta apa-apa."

"Kamu yakin?"

Ina bungkam sebentar. "Hal yang saya inginkan terlalu sulit. Saya tidak ingin mendapatkannya hanya karena saya menolong anda satu kali," jelas Ina.

"Tidak ada yang tidak bisa Aku lakukan," ungkap Benjamin.

"Saya tidak berkata bahwa anda tidak bisa."

Benjamin semakin merasa jika Ina adalah perempuan yang rumit. Lebih dari itu, entah mengapa dia merasa Ina merupakan sosok yang entahlah? Mencurigaka.. Seketika satu kata terlintas di pikirannya.

"Mengapa kemarin kamu tidak menelepon ambulan?" tanya Benjamin penasaran.

"Saya rasa, saya cukup kuat membawa anda."

Yang benar saja. Jarak rumah sakit dan makam terbilang lumayan jauh. Aneh bila Ina yang kurus bersusah payah membawanya sampai sana. Seakan  tubuh Ina terbiasa melakukan sesuatu yang berat.

"Kenapa kamu langsung pergi waktu itu?" tanya Benjamin lagi makin penasaran.

"Saya memiliki kepentingan yang harus dilakukan."

Sepanjang percakapan Ina selalu menggunakan raut datar. Tidak ada perubahan ekpresi sama sekali.

"Kamu yakin kamu membaca kartu namaku?"

"Saya membacanya."

"Nah, siapa namaku?"

Ina bahkan tidak mengerutkan alisnya sama sekali. "Tuan Benjamin Schliemann."

Benjamin Schliemann. Nama yang tak asing lagi didengar. Orang yang sudah lama berada di dunia bisnis tentu saja akan segera mengenalinya. Tanpa membaca kartu nama Benjamin Ina pun sebenarnya sudah mengetahui identitasnya. Pertemuan mereka memang karena faktor ketidaksengajaan. Awalnya Ina sendiri tidak ingin berhubungan dengan Benjamin.

"Kamu benar-benar tidak mau mendapatkan balasan?"

Benjamin sadar kata-katanya kembali tak ditanggapi. "Ya sudah. Berhubung kamu sudah tahu namaku, maka Aku juga harus tahu namamu."

"Nama saya Stela."

"Nona Stela, saya harap ketika kita kembali bertemu saya dapat membalas perbuatan anda."

Ina mengangguk pelan. Dia berdiri lalu menunduk pelan. "Saya akan undur diri terlebih dahulu," kata Ina sopan.

"Silakan. Anak muda memang selalu memiliki banyak kegiatan." Benjamin tertawa pelan.

Ina berjalan menjauhi Benjamin. Menganggap Ina sudah jauh, Benjamin kemudian memberikan tanda. Seseorang muncul tak lama setelahnya. Orang itu terlihat tidak jauh dari posisi Benjamin maupun Ina tadi. Sebab, belum lama Benjamin memberikan tanda orang itu segera datang.

"Ikuti dia dan selidiki identitasnya."

"Baik, Tuan." Pria berjas hitam itu lantas pergi.

Benjamin menyalakan cerutu miliknya seraya memandang danau. Dia menghisap ujung cerutu yang kini mengeluarkan asap kecil.

"Aku merasa dia cukup familiar. Tapi dengan siapa, ya..."

Benjamin terus menghisap cerutu sambil terus berpikir.

Di saat yang sama Ina terus melangkah tanpa berhenti atau memandang ke belakang. Dia melirik ke samping lalu kembali ke depan. Dia seolah mengerti apa yang sedang terjadi.





Yo yo!! apakah masih ada yang nungguin ini cerita?🙂
Sebenarnya nih ya, author ada niatan buat update cerita ini minimal satu chapter satu hari😬😬
Cuma berhubung kadang ga konek ini pikiran sama mager jadi, yah...😀
Nah, biar author yang mageran ini semangat buat nyelesein cerita sukur-sukur tanpa hiatus. Tipsnya yok semangatin aku dengan klik like sama komen🤩🥰👍

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang