ENAM BELAS⚔

691 47 2
                                    

Setelah kejadian itu, esok harinya Xavier dan Xaria datang untuk menempati rumah kecil milik Arthur. Baik Xaria maupun Xavier tidak bertanya mengenai hilangnya Arthur. Mereka cukup mengerti bahwa kemungkinan terburuknya Arthur tidak akan pernah kembali.

Tok Tok Tok

Terdengar suara ketukan pintu. Xaria tanpa kenal takut membukakan pintu pada tamu yang datang. Dia tidak merasa khawatir karena ia tahu hanya beberapa orang yang mengetahui rumah Arthur berada.

"Kakak!" ucap Xaria kegirangan melihat sosok Ina.

Ina membawa sebuah tas besar tak terlihat keberatan. Dia menurunkan beberapa barang yang di antaranya adalah selimut serta beberapa makanan.

"Hari ini salju turun lumayan banyak."

"Ya. Cukup melelahkan untuk membersihkan jalan," ujar Xavier menimpali.

Ina menarik Ina untuk mendekat ke arah perapian. Ketika Xaria mau menggelar selimut yang diberikan Ina padanya, dengan segera Ina mencegahnya.

"Pakailah. Aku membawanya supaya kalian tidak merasa kedinginan," jelas Ina.

"Lantai ini cukup kotor. Kita tidak bisa memakai bangku karena Xavier merusaknya tadi pagi," kata Xaria seraya tersenyum walau masih kesal dengan kelakuan saudara kembarannya.

"Dasar tukang adu," decak Xavier.

Xavier tanpa ragu duduk di lantai kayu yang sudah lapuk. Dia menyelimuti diri di depan perapian sambil memakan roti yang baru Ina bawa. Xaria mendudukan Ina dengan paksa. Alhasil Ina tidak dapat menolak sama sekali. Xaria menyelimuti tubuh Ina. Kemudian memberikan sebuah roti untuknya. Xavier yang melihat gerak gerak Xaria segera mencibir.

"Kemarilah, masih banyak tempat."

Ina menggeserkan tubuhnya memberikan sedikit ruang bagi Xaria. Tentu saja Xaria tidak menolaknya malahan dia duduk di samping Ina dengan secepat kilat. Ina menyelimuti tubuh Xaria. Di sisi lain Xaria tampak senang menempel di lengan Ina.

"Akhirnya Aku bisa keluar dari tempat itu," ujar Xavier.

"Kamu takut dengan mereka?" ejek Xaria.

"Bukan takut, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Mana mungkin Aku bisa melawan mereka sendirian," sangkal Xavier.

"Memangnya kamu pernah berduel dengan mereka?" Ina mengangkat sebelah alisnya.

"Mana mungkin ... Dia saja selalu kabur kalau bertemu salah satu dari mereka," hina Xaria semakin menjadi.

Xavier menatap jengkel pada Xaria. Meskipun dirinya sudah beberapa bulan belajar bela diri, dia tidak bisa berbohong kalau dirinya masih ragu untuk  menantang orang lain. Dan sebenarnya dia agak trauma takut jika bukan dia yang menang maka dia atau Xaria malahan yang akan semakin terluka.

"Hah, jika saja Aku pernah diajari tuan Arthur satu kali saja," desah Xavier.

Xaria yang menyadari ucapan Xavier sudah mengarah ke topik sensitif segera mencubit lengan Xavier. Xavier pun reflek menutup mulutnya dengan kedua tangannya sadar akan kesalahannya. Dia memandang Ina dengan raut tak enak hati. Xaria dan juga Xavier merasa panik, namun tak ada perubahan di wajah Ina. Ina masih santai memandang perapian. Hanya saja sebenarnya perasaan Ina saat ini bergejolak seperti apa di dalam sana.

"Kalau kamu mau menang kamu harus belajar lebih keras mulai sekarang," kata Ina.

"Ah ... ya t-tentu saja!" kata Xavier gelagapan.

"Ngomong-ngomong, apa kakak mau meningap disini malam ini?" tanya Xaria mengalihkan pembicaraan.

"Iya."

"Lagipula salju kembali turun." Xaria melihat ke luar jendela. "Urgghhh ... dingin," lanjutnya.

"Ya, sangat dingin," timpal Ina tak melepaskan matanya dari perapian.

Xaria memandang Ina hati-hati. Dia menyenderkan kepalanya pada bahu Ina. "Maka Aku akan memelukmu," ujarnya memeluk lengan Ina.

Ina tetap diam tanpa mengalihkan pandangannya.

Rasanya benar-benar dingin...

***

Tanpa Ina sadari sebentar lagi dia akan lulus dari sekolah menengah. Ina berjalan di lorong sekolah yang terlihat sepi. Sekarang sudah waktunya jam pulang. Ina meninggalkan kelas ketika mendekati bel karena ingin ke kamar kecil.

Ketika melewati ruang kepala sekolah ia mendengar sesuatu. Ina berdiri berjarak beberapa senti. Dia menatap ke arah pintu dengan acuh.

"Pak ... saya," terdengar suara perempuan dari dalam.

"Tidak akan ada yang tahu."

"Ah ..."

Terdengar suara tidak senonoh dari dalam sana. Ina menyenderkan tubuhnya di tembok. Sebelah tangannya memegang sesuatu di saku roknya. Dia mendengarkan semua desahan demi desahan seperti tidak merasa terusik. Setelah beberapa menit suara itu berhenti. Tak lama seorang remaja perempuan keluar dari ruangan itu.

Ina tetap berdiri di sana sampai sosok laki-laki bertubuh agak gemuk keluar. Dia dengan santai mengambil jepit rambut miliknya untuk membuka pintu ruang kepala sekolah. Ina berjalan tak tergesa-gesa. Tangannya meraba beberapa barang di atas meja. Dia bahkan duduk di kursi milik kepala sekolah.

Tuk Tuk Tuk

Ina mengetuk-ngetuk meja. Dia diam seakan sedang memikirkan sesuatu. Ina bangkit dari duduknya. Berjalan santai seraya bersenandung ringan. Telapak tangannya membelai dinding. Lalu ia melihat sebuah lukisan bergambar bunga. Ina mengangkat lukisan itu, menemukan sebuah lemari kecil. Dia kembali menggunakan jepit rambutnya untuk membukanya. Dia melihat beberapa kertas yang di tumpuk rapi. Setelah membacanya bibir Ina tertarik ke atas.

"Betapa menjijikannya ..." desahnya.

Ina mengambil tiga lembar kertas. Dia mengembalikan lukisan pada tempatnya semula. Merapikan semua yang ia sentuh. Yang terakhir menutup pintu ruangan.

Ina tidak kembali ke rumah. Dia pergi ke arah lain. Saat sampai di tempat yang ia tuju, Ina memperhatikan sesuatu dari kejauhan. Itu adalah perempuan yang tadi ia temui di sekolah. Sepertinya dia adalah teman sekolah Ina. Perempuan tersebut tidak menyadari ada seseorang yang dari tadi terus menatap ke arahnya.

Ina berdiri di sana cukup lama. Dia menganalisa sesuatu. Senyum teribirit di bibir tipisnya. Entah apa yang dia pikirkan. Dan rencana apa yang akan dia buat.

"Apa yang kamu lakukan disini?" ujar seseorang menepuk bahu Ina dari belakang.

Ina berbalik melihat ternyata Noah yang baru saja menepuknya. "Kebetulan sekali. Ada sesuatu yang ingin Aku tanyakan." Ina semakin melebarkan senyumnya.

"Tanya apa?"

"Sesuatu yang sangat penting."

"Sepenting apa?"

"Mungkin hidupku tergantung pada apa yang akan Aku tanyakan ini," tukas Ina dengan senyum misterius.



Halo semuanya maaf baru up😭😭😭
Yang jelas like dulu. Karena semakin banyak like semakin cepat upload 😁

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang