Sereina melewati toko-toko di sepanjang jalan. Dia menyaksikan banyaknya orang sedang menikmati hari minggu dengan riang gembira. Ina hanya bisa membisu. Langkahnya terhenti kala menyaksikan keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak bergandengan tangan lalu memasuki sebuah restoran.
Di waktu yang sama di dalam mobil ada seorang wanita sedang sibuk dengan tabletnya. Dia melepas kacamata seraya menghela nafas kecil. Pekerjaannya sedang ada kendala akhir-akhir ini yang membuatnya tampak kelelahan.
"Apa anda ingin mampir terlebih dahulu, Nyonya?" tanya sopir hati-hati seraya melirik dari kaca mobil.
Wanita itu memandang jalan dengan wajah jenuh. "Tidak usah, langsung pulang saja."
"Baik."
Mata wanita itu tak sengaja menangkap sosok gadis di sebrang jalan. Dia cukup mengenalnya. Dia menyaksikan Ina yang berjalan sendirian. Wanita itu berpikir sejenak. Kemudian dia meminta sopir untuk berhenti.
"Hentikan mobilnya," titahnya.
"Ya?" Walaupun bingung, sang sopir tetap melaksanakan perintahnya.
"Aku ada urusan jadi tunggulah disini."
"Baik, saya mengerti."
Perempuan itu lantas menyebrang jalan. Dia mencari keberadaan Ina yang tadi ia lihat. Ia menemukan Ina yang sedang berdiri merenung di depan restoran.
"Apa kamu tidak mau masuk, Nona?" ucapnya membuat Ina terperanjat.
"Ah, tidak saya ..." Ina semakin terkejut. "Mrs. Adela?" lanjutnya kaget melihat yang menegurnya tidak lain dan tidak bukan adalah gurunya.
"Kebetulan sekali kita bisa bertemu disini. Bagaimana kalau kita mengobrol sebentar?"
"Hemm, ya ... tentu saja," balas Ina ramah.
Mereka berdua pun duduk di meja yang berada tepat di samping jendela sehingga Ina dapat melihat dengan jelas kendaraan yang berlalu lalang. Mrs. Adela memanggil pelayan untuk memesan. Ina hanya meminta secangkir teh.
"Kamu yakin tidak memesan makanan?"
"Iya."
Mrs. Adela memandang Ina seraya berkata. "Kamu tidak perlu khawatir. Karena Aku yang mengajakmu maka Aku juga akan mentraktirmu."
"Tidak, tidak perlu. Saat ini saya tidak merasa lapar," tutur Ina sedikit tak enak hati.
Mrs. Adela akhirnya menyerah membujuk Ina.
"Apa kamu sedang menikmati hari libur?" tanya Mrs. Adela.
"Benar. Saya tengah menikmati hari libur dengan melihat-lihat pemandangan ibukota. Saya tidak menyangka ibukota akan seindah ini." Ina tersenyum simpul.
Mrs. Adela melihat pakaian Ina yang tampak usang. Dia juga melihat sepatu Ina yang sedikit jebol.
"Kalau boleh tau, apa keinginan terbesarmu di masa depan?"
"Saya hanya ingin hidup tenang dan berkecukupan," kata Ina tersenyum kecil.
"Itu saja? Kamu tidak ingin menjadi aktris terkenal? Memiliki banyak penghargaan? Atau berkolaborasi dengan aktor-aktor ternama?"
Ina melirik keluarga kecil yang tadi ia lihat sebelum memasuki restoran. "Menjadi aktris adalah mimpi ibu saya. Saya ingin selalu mengenangnya dalam hati saya jadi saya memutuskan untuk bersekolah di Harrlich."
Mrs. Adela terdiam. Dia tahu bahwa siswi favoritnya ini sudah tidak memiliki orang tua. Dia kembali memikirkan masa lalunya. Sebelum divonis tidak bisa memiliki anak, sebenarnya dia pernah mengandung sekali ketika awal pernikahannya. Serta di tengah kariernya yang baru saja naik. Namun apa daya, dia kehilangan bayi dalam kandungannya. Waktu itu adalah waktu yang sangat berat baginya. Dia terus menyalahkan dirinya bahkan sampai saat ini setelah bertahun-tahun lamanya. Jika dihitung umur anaknya apabila dapat lahir dengan selamat akan sama dengan umur Ina. Mungkin hal inilah yang membuatnya sering kali memikirkan anaknya ketika melihat Ina. Apalagi Ina sendiri tidak memiliki orang tua yang membuatnya merasa simpati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sereina
FantasyBELUM REVISI (18+ banyak adegan kekerasan dan manipulatif. Diharapkan untuk tidak meniru maupun melakukan hal-hal tersebut di kehidupan nyata. Cerita ini hanya fiksi semata.) Seorang anak harus menyaksikan kematian tragis dari kedua orang tuanya. Da...