Beberapa bulan berlalu. Kini Ina sudah menyandang sebagai siswa kelas dua di Harrlich. Persaingannya dengan Julia terus berjalan, walaupun saat ini masih belum ada gerakan besar dari salah satu sisi. Kemudian, karena drama yang pernah dia mainkan sebelumnya membuat popularitasnya di sekolah semakin tinggi. Apalagi Mrs. Adela nampaknya sangat mendukungnya dan menjadikannya sebagai murid favoritnya.
Selain kehidupan sekolah, Ina juga masih memperhatikan hal lain. Contohnya seperti Xaria dan Xavier. Walaupun mereka jarang sekali berkomunikasi, mereka menyempatkan diri untuk bertemu. Xavier telah menemukan pekerjaannya . Dia bekerja di sebuah bengkel. Dia mempelajari banyak hal disana. Dia cukup beruntung karena memiliki bos yang baik sehingga mengajarkannya tentang otomitif. Lalu, untuk Xaria tentunya dia menjadi pelayan pribadi Julia seperti rencana Ina. Meski awalnya dia harus diarahkan mengenai apa yang harus dilakukan, sekarang dia sudah semakin terampil untuk membuat keputusannya sendiri.
"Kakak semakin terlihat kurus," ujar Xaria sambil bergelendot di lengan Ina.
"Itu hanya pemikiranmu saja," balas Ina ringan.
Sebenarnya tubuh Ina masih terlihat pas. Namun karena dia semakin meninggi, mungkin itu yang membuatnya tampak kurus. Bisa dibilang tinggi Ina di atas rata-rata perempuan serta bisa menyaingi laki-laki. Bahkan jika diukur dengan Xavier, tinggi mereka tidak jauh berbeda. Setelah beberapa bulan perubahan pada Xaria dan Xavier terlihat semakin jelas. Tubuh mereka semakin berisi serta sehat. Terutama Xaria, dia semakin cantik dari hari ke hari.
"Xavier," panggil Ina.
"Ya?" jawab Xavier yang sedang sibuk bermain rubik.
"Apa tidak ada kabar dari Noah?" tanya Ina.
Xavier menyernyitkan dahinya sedikit, "Tidak ada," tukasnya singkat.
Ina tidak mengucapkan apa-apa lagi. Sebenarnya, dia pun tak terlihat penasaran dengan keberadaan Noah yang tidak pernah terlihat setelah perpisahan mereka saat pertama kali sampai di kota. Entah berapa kali Xavier mendatangi sekolah Noah, tetapi sulit sekali untuk berjumpa, lalu anehnya murid disana juga tidak ada yang mengaku mengenalnya. Apa mungkin dia hilang? Entahlah, mungkin dia terlalu sibuk belajar.
"Huh, dasar! Mungkin dia salah memberi tahu nama sekolahnya atau mungkin dia dikeluarkan," kata Xaria sesaat setelah melihat Ina yang kembali membisu.
"Dia kan kutu buku. Bisa saja dia hanya ingat kalau hidupnya cuma untuk bernafas dan belajar," cela Xavier.
"Sudahlah, kita harus kembali sebelum malam." Ina mengelus puncak kepala Xaria pelan.
"Ah, Aku masih ingin lebih lama," rengek Xaria.
"Ayo pergi. Sampai jumpa lain waktu."
Xavier menyeret Xaria yang masih tidak rela saat berpisah dengan Ina. Sedangkan Ina hanya bisa tersenyum tipis saat melihat kelakuan kedua saudara kembar itu. Sepeninggalan mereka, ekspresi Ina kembali dingin. Dia menatap langit senja dalam diam.
***
Keesokan harinya, Ina seperti biasanya berangkat ke sekolah. Saat ini dia sedang berjalan ke arah kantin sekolah. Ketika hendak turun tangga, dia melihat empat orang siswi sedang berbincang. Kemudian, mereka pergi ke arah belakang gedung sekolah. Terlihat satu siswi diantaranya seperti diseret oleh mereka. Ina berhenti sejenak, lalu dia memutuskan untuk mengikuti mereka dari belakang.
"Kamu pikir orang sepertimu pantas ada di sini?" ujar salah satu gadis.
Ina mendengarkan dengan seksama dari balik tembok. Nyatanya tindakan bullying selalu ada dimana-mana. Dan korbannya adalah orang-orang yang dianggap lemah.
Gadis yang mengenakan kacamata serta rambut dikepang tersebut hanya diam. Dia tidak bereaksi saat mereka merundungnya. Dia tidak menangis ataupun ketakutan. Hal itu membuat mereka semakin geram.
"Seharusnya kamu bercermin. Bagaimana bisa ada orang sejelek ini!" Gadis berambut ikal mengacak-acak rambutnya hingga kepangnya menjadi rusak.
"Kalau Aku jadi dia, Aku pasti merasa malu dengan wajahku sendiri. Bahkan Aku akan menghancurkan semua cermin di rumahku, haha," timpal perempuan lain mengejek.
Ina menyilangkan tangannya dalam keheningan. Dia tidak berpikir untuk menolongnya saat ini. Namun, matanya tak henti-hentinya mengintip wajah perempuan yang sedang di-bully itu.
Merasa bahwa lawannya tidak ada respon sama sekali, membuat mereka bosan. Salah satu di antaranya dengan sengaja menendang tanah hingga membuat pakaian gadis itu menjadi kotor.
"Ayo pergi teman-teman."
Kemudian, mereka bertiga pergi begitu saja. Selang satu menit, gadis itu masih duduk di atas tanah tanpa berusaha memperbaiki penampilannya. Ina segera mendatanginya dengan langkah yang ringan.
"Astaga, apa yang terjadi denganmu?" tanya Ina merasa prihatin.
Gadis itu mengangkat wajahnya dengan ekspresi kosong. Ina langsung berlutut di depannya.
"Kamu anak baru ya?" tanyanya ketika melihat pita seragamnya berwarna merah.
Gadis itu mengangguk ringan sebagai jawaban.
Sebagai informasi, di Harrlich diwajibkan mengenakan pita kupu-kupu untuk siswinya dan dasi untuk siswanya. Pita atau dasi setiap tingkat kelas berbeda. Untuk kelas satu berwarna merah, untuk kelas dua berwarna biru, dan untuk kelas tiga berwarna hijau. Gadis di depannya itu mengenakan pita berwarna merah yang berarti dia merupakan siswi tingkat pertama.
"Berantakan sekali."
Ina tanpa aba-aba langsung membenarkan kepangan gadis itu yang rusak. Senyum tipisnya tak pernah luntur dari bibirnya.
"Sudah..."
"Apa kamu tidak ingin kembali ke kelas?" tanya Ina kesekian kalinya.
Gadis itu masih diam saja. Dia menatap lekat manik mata Ina. Selang beberapa detik dia berkata, "Kamu melihatnya."
Dari ucapnya dapat disimpulkan bahwa dia tahu Ina menyaksikan perundungan tadi. Dia menyadari keberadaan Ina sedari awal peristiwa terjadi. Di lain sisi, senyum Ina bahkan masih terpampang manis. Dia tidak terkejut mendengar perkataan gadis itu.
"Kamu marah karena Aku tidak menolongmu?" tanya Ina dengan lembut.
"Tidak," jawab gadis itu terus terang.
"Apa kamu ingin meminta bantuanku?"
"Tidak."
"Mereka teman sekelasmu?" Ina mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya."
"Apa kamu tidak membenci mereka?"
Gadis itu tampaknya tidak berminat dengan mereka bahkan setelah mengalami hal ini. Bahkan, tampaknya perlakuan ini bukan pertama kali beginya.
"Kalau begitu, apa kamu tidak merasa kesepian? Kamu mau berteman denganku?"
"Tidak."
Mendengar penolakan yang tegas membuat senyum Ina semakin dalam.
"Baiklah..."
Ina berdiri seraya menyelipkan rambut sebelah kirinya ke belakang telinga. Lalu tangan katanya terulur menandakan bahwa dia ingin membantu gadis itu untuk bangkit. Gadis itu menerima uluran tangan Ina.
"Siapa namamu?"
"Chamomile."
"Itu nama yang sangat cantik." Ina tertawa kecil, mengakhiri percakapan mereka.
Hai hai, author kembali lagi😆😁
Author lagi bersemangat nih buat nulis hehe☺️
Dan itu semua enggak lepas karena dukungan kalian🥰
Buat yang suka cerita ini boleh like + komen ya!!
Siapa tau berkat itu author bakal sering update🤭
Oke, segitu dulu
Sampai jumpa di next episode!😍

KAMU SEDANG MEMBACA
Sereina
FantasíaBELUM REVISI (18+ banyak adegan kekerasan dan manipulatif. Diharapkan untuk tidak meniru maupun melakukan hal-hal tersebut di kehidupan nyata. Cerita ini hanya fiksi semata.) Seorang anak harus menyaksikan kematian tragis dari kedua orang tuanya. Da...