SEBELAS⚔

1.1K 61 0
                                    

Setelah kematian Emma, Ina tetap menjalani hari seperti biasa. Ketika pagi hari ia bersekolah, ketika sore hari berlatih sedangkan bila ada waktu yang kosong ia sempatkan untuk bekerja. Seperti saat ini dia sedang duduk di rerumputan sambil memantau domba yang tengah asik ke sana kemari. Selain menggembala, dia juga turut membantu tetangga berkebun. Memang pekerjaan ini awalnya Emma yang melakukan. Namun semenjak sakit-sakitan, Ina mengambil alih pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sebenarnya hidup sebatang kara itu sangat sulit. Tak terkecuali untuk Ina walau dirinya selalu bersikap dewasa tentu saja tetap tidak mudah. Kadang kala ada tetangga yang baik hati memberinya makanan. Meski tidak banyak, hal tersebut cukup meringankan beban Ina.

Ina berdiri mengambil tongkat kayu miliknya. Dia menggiring domba-domba kembali ke kandangnya. Ina menghitung dengan cermat takut ada yang tertinggal. Saat ada domba yang berlari dia terpaksa harus mengejarnya. Butuh beberapa waktu untuknya bisa mahir dengan pekerjaannya.

"Wah, hari ini sangat terik." ujar seseorang.

"Yah ... mungkin karena musim panas akan segera tiba," timpal Ina.

"Hei, lihatlah kulitmu semakin hari semakin gelap saja," kata wanita paruh baya yang bernama Grace.

"Bukannya itu bagus," ucap Ina.

Grace tersenyum masam. Dia sudah seperti bibi bagi Ina. Saat Ina kesulitan Grace kerap membantunya bahkan sebelum Emma meninggal.

"Mengapa kamu tidak membuat sesuatu dan menjualnya? Sebagai seorang gadis lebih baik bekerja di rumah saja."

Grace mengingat pertama kali mereka bertemu. Dirinya masih ingat dulu kulit Ina seputih susu. Tangannya tampak mulus dan tubuhnya terawat. Berbanding terbalik sekarang tangan Ina dipenuhi kapalan serta kulitnya yang kasar.

"Bekerja di luar lebih cepat menghasilkan uang," tukas Ina santai.

"Kamu ini! Aku sedang menasehatimu," dengus Grace.

"Sudahlah Bibi, lagi pula Aku hanya perempuan desa. Tak perlu mempercantik diri yang ada nanti malah dilamar kakek Barnes."

Kata-kata Ina berhasil membuat Grace terdiam. Siapa di desa yang tidak kenal kakek Barnes. Jika dilihat dari kekayaan tentu saja dirinya termasuk ke jajaran orang terkaya di desa. Sebut saja dirinya memiliki perkebunan anggur tak lupa pabrik wine. Memang tidak terlalu besar tetapi wine anggur miliknya cukup laris sampai terjual di luar kota.

Kepamorannya juga tak lepas karena dirinya yang gemar berpoligami. Bahkan sekarang dia memiliki 7 istri. Baru beberapa bulan ia meminang gadis cantik dari desa seberang. Ada kemungkinan dia akan melirik Ina jika Ina merawat diri. Bagaimana tidak, Ina memiliki wajah yang cantik. Mata tajam berwarna coklat, rambut panjang lurus berwarna hitam, tak lupa tahi lalat di bawah matanya. Gadis remaja itu tentu saja sangat cantik di mata setiap orang yang melihatnya. Hanya saja kepribadian Ina terlalu dingin sehingga tidak ada yang berani mendekat.

"Bukan begitu maksudku," jelas Grace kesal.

"Terserah. Jadi, Bibi akan memberikan roti itu untukku atau tidak." Ina menunjuk roti yang Grace bawa sengaja akan ia berikan pada Ina.

"Ambil semuanya. Malas berbicara denganmu."

Ina mengulum senyum tipis saat Grace pergi menjauh sembari berkomat-kamit kesal. Ina membawa keranjang roti berniat pulang. Saat akan berjalan dia menonton ada sekelompok remaja tengah memukuli dua anak yang lebih kecil dari mereka. Ia memandang beberapa remaja tersebut mengambil apel dari anak yang mereka pukul. Ina bersembunyi di balik pohon. Saat ia melihat mereka pergi menyisakan dua anak tadi barulah dirinya menampakkan diri.

"Ah sial padahal kita mendapatkannya susah payah," decak salah satu anak tersebut.

Anak yang lain hanya merintih merasakan lengannya yang perih. "Tanganku sakit," katanya pelan.

"Apa sangat parah?" tanya anak perempuan itu pada kembarannya.

"Lebih sakit dari terakhir kali," ringisnya.

"Mereka keterlaluan!"

"Apa kalian lapar?" tanya Ina sontak membuat dua pasang mata melebar akibat kaget. Mereka terkejut karena tidak merasakan Ina datang.

"Siapa kamu?" tanya anak perempuan itu waspada.

"Tenanglah Aku hanya kebetulan lewat," ujar Ina pada kedua anak kembar yang terlihat lebih muda darinya.

"Pergilah! kami tidak butuh bantuan," usir anak laki-laki itu melupakan rasa sakit pada lengannya.

"Aku hanya menawari roti sisa milikku. Yah, jika kalian tidak mau ya sudah." Ina berbohong padahal roti yang diberikan Grace adalah makan malamnya.

"Kamu bilang roti? benar kamu akan memberikannya pada kami?"

"Xaria kamu gila? kenapa kamu mau menerima makanan dari orang asing!" ujar anak lelaki itu tersentak.

"Dia tidak terlihat jahat. Ingat kita belum makan apa-apa sejak pagi. Kalau mati lebih baik mati dengan perut kenyang."

Ina memberikan sepotong roti pada anak perempuan yang bernama Xaria. Dia sedikit takjub dengan keberaniannya. Matanya melirik orang disamping Xaria yang memalingkan wajahnya.

"Kamu tidak mau?" tawar Ina untuk yang terakhir kali.

"Aku tidak lapar," ujarnya acuh.

Kruyukkkk

"Kamu tidak pandai berbohong." Xaria terkikik geli pada kembarannya.

Anak itu lantas menelan salivanya memandang Xaria yang menikmati roti  milik Ina. "Argghh, terserahlah!" Ia pun merebut roti dari tangan Ina dan memakannya lahap membuat Ina maupun Xaria ternganga dengan tingkahnya.

"Jadi namamu Xaria, kalau namamu?"

"Xavier," jawab anak bernama Xavier dengan dingin.

"Kalian tinggal dimana?" tanya Ina.

"Kami tinggal di panti asuhan tidak jauh dari sini," kata Xaria yang sudah selesai makan.

"Lantas, siapa orang-orang tadi?"

"Mereka juga berasal dari panti asuhan. Mereka selalu menganggu dan mencuri makanan dari anak yang lemah seperti kami," jelas Xavier.

"Bagaiman hal itu bisa terjadi? Bukannya panti asuhan memberi kalian makan?"

"Memang panti memberikan makan. Tapi, mereka memberikan makanan yang tidak ada bedanya dengan sampah," ujar Xaria.

Panti asuhan ini cukup menarik

"Kalian mendapat apel darimana?"

"Kami mencurinya untuk apa lagi bertanya," kata Xavier.

"Kalian tidak ada bedanya dengan hidup di jalanan." Ina tertawa membuat kedua saudara kembar itu saling menatap heran.

"Ambil lah." Ina melempar sesuatu dari kantong celananya. Itu adalah plaster luka.

"Kamu sering berkelahi ya," kata Xaria asal sementara tangannya mengambil plaster luka.

"Memang."

"Kamu bercanda?" tanya Xavier tak percaya.

"Mau kalian percaya atau tidak Aku tidak peduli." Ina bangkit dari duduknya. "Akan ku beri tahu ... melawan mereka tidak ada gunanya," lanjutnya.

"Kenapa? karena kamu tahu akan kalah?" kata Xavier mengejek.

"Bukan Aku, tapi mereka." Ina terkekeh pelan. "Semoga kita bertemu lagi."

Mereka menyaksikan sosok Ina yang mengabur.

"Bukannya dia terlihat aneh ..." kata Xavier.

"Mungkin." Xaria menempelkan plaster luka pada Xavier membuat sang empu menjerit kesakitan.

"Aww!! pelan-pelan, sakit!"

Mereka berdua tidak akan pernah menyangka akan kembali bertemu Ina. Bahkan di masa depan mereka berdiri di samping Ina. Mereka akan menjadi teman yang setia sekaligus ...

Sekaligus apa ya gaes ya🤔
Kalau kalian penasaran nantikan chapter selanjutnya
Jangan lupa klik tanda bintang🤩🤩🤩

SereinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang