Part 31

212 35 1
                                    

Haloo, gaes!
Ada yang nungguin? Hihi

Sebenernya ini udah ending. Cuma... Cuma apa ya? ( ╹▽╹ )

Dahlah, happy reading (◕ᴗ◕✿)

***

Melihat pertengkaran kedua pangeran yang nampak konyol itu membuat Rose memijat keningnya. Sungguh, mereka sangat kekanakan! Sama sekali tidak ada wibawanya seperti bangsawan pada umumnya.

Gadis di sampingnya justru terkekeh. Dia yang sebelumnya tak memiliki teman merasa sedikit hangat. Berpikir akan sendirian selamanya membuatnya menderita. Meski terdengar buruk, Nafa bersyukur karena terkena kutukan bayi itu.

Dia bisa bertemu dengan Christopher, berbincang dengan santai dengan Rose, dan bertemu Zay.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu? Wajahmu seperti gadis yang sedang jatuh hati," komentar Rose melunturkan senyum Nafa. Berbanding terbalik dengan rona merahnya yang semakin meluas ke seluruh wajah.

"Eh? Apa? Beneran?" Rose terkejut melihat perubahan sikap Nafa.

Gadis berambut putih itu lebih gagap dibanding biasanya. Harusnya dia marah atau mengelak. Kalau tidak, berarti ....

"Dengan siapa? William?"

Nafa menggeleng cepat. "Nggaklah! Bukannya dia sama kau?"

"Hah? Apanya? Kenapa pula orang itu?"

"Yah, kau tadi datang bersamanya. Jadi, kupikir ... Tapi, bukan, ya?"

Kedua gadis itu saling bertatapan dengan wajah kebingungan. Sejenak, mereka tertawa bersama. Merasa sedikit konyol. Sudah lama mereka tidak berbincang sebagai sahabat seperti sekarang. Bukan sebagai bangsawan dengan gaun mewah atau teh herbal.

Hanya ada Nafa dan Rose. Tanpa embel-embel Antonia atau Daniarty.

Lambat laun, tawa Rose berubah sendu. Wajah cantiknya kembali murung. Memori tak mengenakkan kembali menyeruak. Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Kenyataan yang kejam, seperti mulut Christopher yang blak-blakan.

"Kenapa?" Nafa menyadari perubahan wajah Rose. Sedari tadi dia ingin bertanya perihal apa yang membuat sang sahabat sedih.

"Tidak. Aku hanya bersyukur kalau kau sudah menemukan pasanganmu. Dengan begitu, kau tidak akan sendirian lagi." Rose nampak memaksakan senyum. Terlihat di sudut bibirnya yang berkedut. "Tidak sepertiku," lirihnya.

Nafa menepuk punggung Rose dengan keras.
"Aduh! Sakit, sialan! Apa yang kau lakukan?!" Rose berusaha menggapai bekas tamparan itu, tapi tak mampu. Dia yakin ada bekas telapak tangan di kulitnya.

"Nah, ini baru Rose yang kukenal." Nafa menyengir. "Lagian, kau aneh. Kan ada aku, kenapa kau berpikir begitu?"

"Bukan gitu. Maksudku sendirian dalam arti lain. Daniarty lenyap, Fa."

Nafa semakin tak mengerti arah pembicaraan ini. Raut wajah murung Rose kembali timbul. Ini bukan candaan. Namun, apa maksud sahabatnya itu? Atau saat perang dengan penyihir telah terjadi sesuatu?

"Ma-Mama dan Papa tewas, Fa."

Napas Nafa sontak tercekat. Jantungnya terasa tertusuk sesuatu. Ia mengenal rasa sakit ini. Seolah membuka luka lama yang sudah mengering. Luka yang Nafa kira sudah sembuh seperti sedang membuat reuni dengannya.

Ludah Nafa terasa pahit. Pandangannya mulai meredup. Aneh, Nafa harusnya tidak seperti ini. Dia harus menenangkan Rose. Bukan sebagai orang yang senasib, tapi sama-sama mendukung, menyemangati, dan menenangkan.

Rasa sakit ada bukan untuk menjatuhkan hidup seseorang. Penderitaan diberikan untuk membuat seseorang semakin kuat setiap waktunya. Melepaskan, ah, bukan, harus lebih dari mengikhlaskan. Luka di kulit mungkin bisa cepat sembuh, tapi luka di batin memeluhkan lebih daripada sembuh.

Prince Babysitter [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang