Part 38

137 15 0
                                    

Hai, apa kabar?

Happy Reading!

***

“Airku habis, aku ambil dulu, Rose.”

Rose hanya mengacungkan jempol ketika Nafa berpesan padanya. Gadis yang mengikat rambut putih gaya pony tail itu tak memiliki minat mendengar penjelasan Zayden yang menerangkan perjalanan mereka. Hanya akan menambah beban pikiran saja, pikirnya.

Langit mulai ambigu. Bewarna kelabu, tidak cerah tidak pula gelap. Awan mendung mulai bersuara. Persis ketika perutmu merasa tak enak. Hanya menunggu waktu sebelum mengeluarkan sesuatu.

Nafa awalnya meraih air sungai tersebut dengan kedua telapak tangannya. Mencicipinya sedikit, memastikan rasa. Dirasa sudah segar dan aman, Nafa menurunkan botol minumnya ke sungai dengan berjongkok.

Namun, tak lama kemudian, tubuhnya limbung ke depan. Posisi tubuh yang jauh dari kata seimbang membuatnya mudah untuk goyah. Nafa hanya mampu memejamkan mata dan menahan napas ketika dinginnya air menyelimuti tubuhnya.

Dia menuju tengah sungai yang memiliki arus yang deras. Hujan yang turun menambah air bah datang dari hulu. Nafa berusaha menuju ke permukaan meski kekuatannya kalah dengan kekuatan alam.

Puah!” Gadis itu tak memikirkan hal lain selain mencari pemasok oksigen. Keselamatannya di ambang batas. Samar-samar, Nafa mendengar suara air menelan sesuatu. Satu, dua, dan tiga. Meski tak melihat dengan jelas, dia yakin jika itu adalah orang yang jatuh ke sungai.

Berusaha mendekat, Nafa tetap berupaya menjaga kesadarannya. Dalam situasi penuh kekacauan itu yang harus diutamakan adalah pikiran yang tenang serta kesadaran diri. Tangannya mencoba meraih sesuatu, tapi lagi-lagi kekuatan alam mengalahkannya.

Arus sungai semakin menggila. Membawa apapun yang menghadangnya pergi menjauh. Keegoisan alam yang mengerikan, menenggelamkan semuanya tanpa sisa. Sungai mengajak hujan serta petir untuk bekerja sama mengacaukan bumi. Kilatan menyambar langit yang sedang mendung. Ditambah hujan yang menambah debit air semakin bertumpah ruah.

“Nafa!”

Gadis itu menoleh ke arah lain. Suara melengking yang samar terdengar karena kalah dengan suara alam. Nampak seorang pemuda bermata hijau yang mendekap seseorang lainnya. Melalui tatapan matanya, Christopher mengkode Nafa untuk menuju ke pinggir sungai.

Napas keduanya tak beraturan ketika naik menjauh dari luapan air. Christopher hanya menarik tubuh Rose di sampingnya, butuh tenaga ekstra untuk membawa orang yang pingsan. Nafa yang merunduk teringat sesuatu, dia tadi hendak menyelamatkan Zayden.

“Tunggu! Biar aku— uhuk!” Cekalan tangan Christopher terhenti karena air yang masuk ke dalam rongga dadanya. “Zay pasti pingsan, dia akan lebih berat. Ditambah arus sungai itu, lebih baik kau di sini saja.” Imbuh Christopher seraya melirik Rose yang masih tak sadarkan diri.

“Ta-tapi!”

Jeder!

Kilatan petir mengangetkan dua orang itu. Nafa sampai merunduk gemetar, sebab dingin yang merebak ke kulitnya serta rasa takut yang menjadi-jadi. Tangannya perlahan menahan Christopher yang masih berdiri kaku. Menolak apapun ide yang ingin Christopher lakukan sekarang. Untuk saat ini, mereka bertiga harus bersama.

“Ck! Zayden juga sepertinya sudah hanyut entah ke mana. Setelah hujan reda, kita akan menyusuri sungai untuk mencarinya. Kau tak masalah kalau begini, kan?”

“Iya. Daripada kita terpisah lagi, sebaiknya kita tetap bersama hingga semuanya tenang. Akan kucoba membangunkan Rose.” Nafa mendekat pada sahabatnya itu. Menepuk pipinya pelan. Tidak ada tanda-tanda dia akan sadar. Tangan Nafa memposisikan ke arah dada, menekannya beberapa kali hingga mulut Rose mengeluarkan air.

Uhuk! Uhuk!” Rose tersadar meskipun dengan keadaan yang kacau. “Nafa? Itukah kau? Di mana kita sekarang?"

“Aku tak tahu. Yang terpenting kita harus mencari tempat berteduh dan menunggu hujan pergi.” Nafa menautkan tangan Rose. Gadis itu pasti kebingungan. Keduanya lantas menyusul Christopher yang sudah berjalan dulu menuju hutan.

“Di mana Pangeran Zayden?” tanya Rose setelah menengok-nengok dan menyadari ketidakberadaaan satu orang di antara mereka.

Nafa terdiam. Lidahnya begitu kelu untuk menjawab. Rasa khawatir mulai menyerang. Pemikiran negatif berulang kali terputar, batinnya yang lain seolah menyalahkan keputusannya beberapa menit sebelumnya.

"Ma-masih hilang. Nanti juga ketemu."

"Ha? Ngomong apa kau?"

Rose membola, tangannya mencengkram tubuh Nafa membentak keputusan gila sahabatnya itu. Mengata-ngatai sembari menyalahkan semuanya pada Nafa. Membuat hati Nafa semakin mengerdil, mulai menyalahkan diri.

"Hei, Nona Daniaty! Hentikan!" Christopher menengahi. Meskipun awalnya kena semprot juga oleh Rose.

"Apa, sih? Kau juga membelanya? Kau tak peduli dengan Pangeran Zayden?! Teman macam apa kau?!"

"Lalu, apa yang kau lakukan?!" Christopher tak menahan amarahnya. "Di saat aku menarikmu dari sungai, Nafa mencoba mengeluarkan air dari paru-parumu, apa yang kau lakukan? Apa kau juga bisa menyelematkan Zay?! Bisa tidak?!"

"A-aku kan pingsan, mana bisa melakukan hal itu!" Rose tetap membela diri.

"Oh, gitu? Berarti kami boleh meninggalkanmu dan membiarkanmu mati begitu saja?! Oke! Sana balik ke sungai, tenggelamkan dirimu, dan matilah!" Christopher dengan kasar mendorong Rose hingga dia jatuh menyentuh tanah.

Rose bergetar, masih tak biasa dengan ucapan keras dari Christopher ditambah dengan perlakukan kasarnya. Rasa takutnya mulai menyelimuti.

"Christopher!" Nafa menahan tubuh Christopher yang naik turun karena napasnya yang tidak beraturan. Lelaki itu memang sulit menahan emosinya. Keadaan kelelahan, kebingungan, dan emosi yang memuncak, menumpuk dalam satu tubuh.

Rose juga sama. Dia baru sadar dari pingsannya, kelelahan serta emosi bercampur tak karuan. Ketiganya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Entah seperti apa kabar Zayden.

"Urus sahabatmu itu!" Christopher menepis tangan Nafa, melirik tajam ke arah Rose, lalu pergi ke arah dalam hutan.

Tubuh Nafa terdiam. Dia tidak mendekat pada Rose yang masih terduduk, atau menahan tubuh Christopher yang menjauh. Dia juga lelah. Ketiganya butuh waktu dengan diri mereka sendiri.

Suara air hujan mulai mereda. Meski air bah masih menggenang, arus sungai masih membawa air yang cukup banyak. Situasi kembali terkendali, baik alam, baik ketiga orang itu. Christopher kembali dari hutan, dia membawa beberapa buah dan memberikannya tanpa kata.

Nafa telah menyiapkan api unggun untuk mereka. Sedangkan Rose, masih meringkuk dengan perasaan penuh rasa bersalah. Ia ingin meminta maaf, tapi bibirnya kelu. Tidak ada yang memulai percakapan, membahas kejadian barusan, atau mengakui kesalahan masing-masing.

Nafa dengan keputusan gegabahnya, Christopher dengan sikap kasarnya, dan Rose dengan sikap egoisnya. Ketiga orang itu hanya tenggelam dalam penyesalan masing-masing. Namun, yang pasti, mereka harus berkumpul kembali.

"Ayo, mencari Zayden." Akhirnya Christopher angkat bicara. Dia berdiri dan berjalan terlebih dahulu. Tanpa peduli persetujuan yang lainnya, seakan-akan dia sedang pamit. Kata 'kita' pun tak lagi dia ucapkan.

Dengan perasaan sangat abu-abu. Dua orang gadis itu mengikuti Christopher dalam sunyi. Hanya pikiran mereka yang berisik bersamaan dengan suara tetesan air yang jatuh dari dedaunan.

***

Btw, aku bikin chapter ini sambil kek, apa sih aneh bangetಡ⁠ ͜⁠ ⁠ʖ⁠ ⁠ಡ

Makin ke sini, chapternya makin gak jelas. Komedinya, alurnya, konfliknya, romantisnya apalagi

Tamarin aja yuk?

TBC ...

Prince Babysitter [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang