Part 12

14.8K 1.3K 119
                                    

Binar mengipas wajahnya yang sudah layaknya kepiting rebus itu dengan tangannya. Udara terasa menghangat di sekitarnya, atau sebenarnya udara Bandung masih seperti malam-malam sebelumnya tapi hanya dirinya saja yang terbakar dan merasa akan segera menjadi api. Binar mendongak, melihat kearah suaminya yang juga tak kalah mengenaskan dibandingkan dirinya.

"Abang..." Rengek perempuan itu sambil menatap Nanda dengan mata merah miliknya.

"Apa?" Nanda membalas tatapan Binar. Sebenarnya dia kasihan juga melihat keadaan istrinya itu tapi ya mau bagaimana lagi.

"Abang..." Binar kembali memanggil Nanda dengan mulut mengap-mengap. Yang dilirik hanya mengangkat alisnya.

"Abang..." Panggil Binar lagi.

"Apa?" Nanda sedikit membentak.

"Aku udah gak sanggup." Binar meniup udara panas dari mulutnya. Bibirnya membengkak dan terasa panas.

"Emangnya aku maksa kamu lanjutin eum? Nggak kan?" Nanda mengusap hidungnya. Beberapa bulir keringat mengalir di pelipisnya. Tidak, keringat bahkan telah membanjiri kepala dan tubuhnya. Binar benar-benar mengajaknya ke neraka.

"Aku kasihan sama Abang." Binar menjatuhkan kepalanya ke atas meja.

"Eh tumben, bukannya kamu suka Abang menderita?" Nanda mengangkat kepalanya lalu menjulurkan tangan untuk merapikan rambut Binar yang hampir masuk ke mulut.

"Iya juga ya. Kok aku lupa?" Binar suka kok melihat suaminya itu sengsara. Karena dengan begitu dia dapat melihat kalau kehidupan Nanda tidak mulus-mulus saja. Rasanya tidak adil saja jika Nanda yang sudah menyakiti banyak orang bisa hidup tenang dan nyaman. Tapi kalau begini ceritanya bukan Nanda saja yang sengsara tapi dirinya juga. Binar rasa memang serba salah saja hidup dengan pria itu.

"Abang dosanya banyak banget, kok gak pernah kena azab ya? Minimalnya Abang kejatuhan sial tiap hari lah atau Abang ditakdirkan untuk gak punya pasangan seumur hidup."

"Punya istri Kayak kamu juga sama aja dengan gak punya pasangan. Istri di rumah tapi ga bisa diapa-apain. Rugi aja dikasih makan."

"Tetap aja masih kurang."

"Kurang azab apalagi hidup abang? Kamu pikir Abang senang setelah menyakiti kamu? Nggak, dek. Abang merasa buruk lebih dari apapun. Menyakiti orang yang kita sayangi itu bukan hal membanggakan. Abang juga harus selalu siap kehilangan orang-orang yang Abang sayangi. Apalagi saat kamu dan Athaya dalam kondisi sekarat. Membayangkan akan kehilangan kalian membuat Abang takut." Nanda menghela napas panjang. Kepalanya didongakkan ke atas. Merasa lelah dengan hidupnya. Binar apalagi.

"Biasa aja. Nggak seberat aku." Binar yakin kalau penderitaan yang Nanda rasakan belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dia rasakan.

"'seberat' yang kamu maksud itu juga jadi beban di kepala dan hatiku."

"Ya salah Abang sendiri. Nafsuan sih." Tangannya menjangkau gelas susu lalu menyodorkannya pada Nanda. Pria itu langsung menghabiskan semua dalam sekali teguk.

"Kamu pikir aku apaan sampe bisa nafsuan kapan aja." Nanda jelas tidak terima dituduh seperti itu oleh Binar. Apa yang dilakukannya murni karena ketidaksengajaan. "Kalau dalam keadaan sadar mana mau aku grepe-grepe kamu. gak usah sok cantik deh."

Binar memukul meja. Kesal dengan penuturan menghina dari Nanda. "Intinya Abang yang buat dosa tapi azabnya kebanyakan di aku."

"Ini memang gak bisa menandingi apa yang kamu rasakan, Bi. Tapi merawat Athaya selama 4 tahunan lebih itu juga tidak mudah. Setidaknya untuk aku. Aku selalu dibayangi ketakutan kalau aku gagal merawat Athaya." Nanda tidak bohong. Proses merawat Athaya adalah masa-masa terberat dalam hidupnya.

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang