Part 42

7.9K 715 122
                                    

Tetesan-tetesan hujan jatuh membasahi rerumputan di halaman. Binar duduk di kursi teras sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Dia sebenarnya bukan penikmat kopi, hanya saja malam ini dia menginginkannya. Ingin merasakan bagaimana rasanya kopi yang sering di minum Nanda, menyesap dari cangkir yang sering digunakan pria itu.

Rasa hangat yang nyaman mengalir pelan ke tubuhnya dalam setiap tegukan. Mungkin karena kopi itu masih cukup panas, mungkin juga karena udara sedang dingin-dinginnya, mungkin juga karena dia sedang mengikuti salah satu kebiasaan Nanda dan membayangkan bagaimana pria itu menyesap kopinya seperti yang sedang dia lakukan sekarang.

"Bunda kenapa?"

Binar terjengit, hampir saja tersedak kopinya saat mendengar suara Athaya. Lupa jika anak itu sedang duduk di kursi seberang meja dengan tablet di pangkuan dan secangkir coklat panas di tangan. "Ayah bentar lagi sampe rumah."

"Itu bikin bunda senyum-senyum kayak orang gila?" Terus terang Athaya dengan keanehan Binar.

Iya tentu saja. Dia sudah menunggu hari ini sejak seminggu yang lalu. Perutnya sudah merasa gatal ingin dielus dan dikecup penuh sayang oleh Nanda. Itu keinginan anaknya, sedangkan dirinya sendiri lebih ingin meminta maaf atas segala hal bodoh yang dia lakukan. Nanda sudah tidak sibuk lagi, pasti akan ada waktu untuk mendengar segala penjelasannya, dia sudah tak sabar untuk dimaafkan. Bayangan semua masalah akan segera berakhir malam ini jelas membuatnya terlihat bak orang gila karena saking senangnya.

"Kapan ayah sampai? Kok dari tadi kita tungguin belum pulang-pulang juga?" Tanya Athaya, dia sudah tak sabar menunggu ayahnya pulang. Binar sudah mengajaknya duduk di teras sejak tadi namun ayahnya tak kunjung datang dan Binar selalu bilang 'sebentar lagi' saat ditanya.

"Bentar lagi sampai kok."

Athaya hanya mengangguk sambil memperhatikan sekeliling tubuhnya, bersiap menepuk nyamuk yang mungkin akan menghampirinya jika mereka tak kunjung masuk.

"Kenapa kita tidak tunggu di dalam aja? Aku dengar suara nyamuk."

"Lebih enak di sini. Udaranya segar. Hujannya juga cantik."

Athaya hanya menghela napas, dia cukup yakin kalau bundanya akan menangis malam ini. Biasanya jika bundanya sudah senyum-senyum tidak jelas begitu pasti ujung-ujungnya bakalan nangis.

"Ayo masuk! Orang lain ga ada tuh yang duduk di luar malam-malam gini. Kalau ada hantu gimana?" Mata Athaya mulai lari ke pohon di samping pagar lalu ke samping rumah dan ke atap rumah tetangga, memastikan tidak ada satupun makhluk aneh yang mengintai mereka.

"Kamu masuk aja. Bunda masih mau duduk di sini. Bunda suka duduk di teras kalau lagi hujan. Bau rumputnya enak."

"Orang aneh." Celutuk Athaya lirih sebagai respon atas pengakuan Binar yang menyukai aroma rumput.

Binar melirik sinis ke arah Athaya, tidak suka dengan tanggapan Athaya yang mengomentari kesukaannya. Apa yang salah dari kebiasannya, melihat rintikan hujan dan mencium aroma rumput itu satu hal yang menenangkan bagi dirinya.

"Kalau bunda gak aneh kamu gak akan ada, Athaya."

"Euh?"

Binar meneguk kopinya cepat-cepat. Membiarkan lidahnya terbakar kopi panas yang disesap terburu-buru. Kali ini kopi itu terasa sedikit pahit dan tidak nyaman di kerongkongannya yang mengering.

"Kok gitu bunda? Aku jatuh pas hujan?"

"Iya."

"Jatuh dari langit?"

"Kamu pikir kamu masih bisa hidup setelah jatuh dari langit?" Binar mengambil minuman Athaya lalu meminumnya banyak-banyak. Athaya langsung cemberut begitu gelasnya dikembalikan.

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang