Part 20

12.2K 1.1K 241
                                    

Binar menghentikan motor di pekarangan rumahnya. "Hati-hati turunnya, sayang!" Binar mengingatkan Athaya yang melompat turun dari motor tanpa menunggu bantuan darinya.

Setelah Athaya turun, Binar segera memasukkan motornya ke garasi lalu menggendong Athaya pulang ke rumah suaminya. Binar berusaha berjalan dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Menjadi manusia yang terlahir dengan sikap ceroboh sepertinya membuat Binar harus ekstra hati-hati. Jangankan batu, dengan kakinya saja dia bisa tersandung.

"Kak Binar kakiku jangan ditekuk gitu. Jadi tambah sakit." Athaya merengek di gendongan Binar.

"Ya ampun maaf sayang, bunda gak sengaja." Binar berjalan cepat menyeberangi jalan untuk ke rumah Nanda. Binar menurunkan Athaya saat menemukan pintu yang masih terkunci. Binar merogoh kunci di saku celananya. Perempuan itu kembali menggendong Athaya setelah membuka pintu.

"Kita tidur di kamar nenek dulu ya, bunda gak sanggup gendong kamu ke atas.

Athaya mengangguk. "Ayah mana?"

"Ga tau." Ini sudah jam 10 malam, tapi entah di mana suaminya itu sekarang. Tapi dari pintu yang masih terkunci sepertinya Nanda memang belum memasuki rumah sejak mereka pergi.

"Telepon ayah, suruh pulang!" Rengek Athaya. Binar mengambil ponselnya lalu melakukan panggilan ke kontak Nanda. Panggilan pertama tidak dijawab. Panggilan kedua, ketiga dan selanjutnya juga sama. Binar meletakkan kembali ponselnya. "Ga dijawab. Mungkin ayah lagi di jalan."

Athaya tidak menjawab apa-apa, tapi dari kerutan muka dan getaran bibir anak itu, Binar bisa menebak kalau Athaya akan segera menangis. Perempuan itu segera menenangkan Athaya, "sayang, kamu liat YouTube dulu ya. Bentar lagi ayah pulang kok." Binar membuka aplikasi YouTube lalu mencari video kesukaan Athaya.

"Bunda tinggalin sebentar, ya?"

"Mau ke mana?"

"Cari obat merah di atas."

Setelah mendapat anggukan dari Athaya, Binar segera bergerak menuju lantai atas. Dia pernah melihat kotak P3K di kamar suaminya. Binar menemukannya tergeletak di samping nakas, perempuan itu segera turun dan menemui Athaya lagi setelah mengambil kotak itu.

"Ayah sudah pulang?" Athaya langsung melempar pertanyaan saat Binar mendekatinya.

"Belum!" Geleng Binar.

"Telepon lagi!"

Binar mengambil ponsel lalu menelepon suaminya lagi. Namun tetap saja masih belum bisa tersambung. "Ga diangkat. Tunggu aja. Bentar lagi juga pulang."

"Coba lagi. Siapa tahu ayah gak dengar." Rengek Athaya.

"Ga diangkat!" Bentak Binar jengkel. "Maaf bunda gak maksud marahin kamu. Kita tunggu aja ayah pulang ya. Takutnya ayah jadi gak konsentrasi bawa mobilnya kalau ditelepon terus." Binar menuangkan antiseptik ke atas kapas lalu membersihkan luka di lutut Athaya. Anak itu memekik saat kapas itu mengenai lukanya.

"Aduh sakit ya?" Binar meniup lutut Athaya. "Kamu tahan dikit, ya. Biar bunda oleskan obat merah." Binar mengoleskan obat merah pada lutut Athaya. Anak itu meringis karena rasa perih. Binar segera meniup-niup luka itu lagi. "Yeay udah selesai."

"Kapan ayah pulang?"

Binar menarik napas panjang. Anak itu terus menanyakan pertanyaan yang tidak bisa dijawab olehnya. Binar jadi kesal sendiri. Athaya sepertinya tidak bisa berpisah sebentar saja dengan ayahnya. "Sebentar lagi."

"Dari tadi kak Binar bilangnya gitu terus. Tapi ayah tetap aja belum pulang. Aku kan kangen." Bulir air mata berlinang di pipi Athaya.

"Kita pisah sama ayah baru 3 jam yang lalu. Masak kamu udah kangen. Siangnya ayah pergi lebih lama tapi kamu bisa nunggu kan?"

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang