Part 23

12.5K 1.1K 127
                                    

"Hati-hati!" Pekik Binar saat Nanda hampir tergelincir. "Aaw!" Pekik Binar lagi karena suaminya itu menggapai dan menarik tengkuknya kuat. Rasanya lehernya hampir patah karena dijadikan tumpuan oleh pria itu.

"Maaf, Dek." Nanda sedikit menegakkan tubuh agar tidak semua berat badannya bertumpu pada Binar. Tubuh kecil perempuan itu tentu tidak akan sanggup menahan tubuhnya.

"Nanti Abang jatuh." Binar menarik kembali tubuh Nanda yang sedikit menjauh darinya. "Bertumpu aja sama aku, tidak apa-apa."

Nanda tidak mengindahkan perkataan Binar. Pria itu tetap berjalan sendiri. Nanda merasa lebih nyaman berjalan sendiri daripada bertumpu dan dipapah oleh istrinya itu. Tubuh Binar yang terlalu pendek membuat pinggang dan punggungnya pegal. Lagian Nanda sudah merasa cukup kuat untuk berjalan sendiri.

Binar membuka pintu kamar mandi. Perempuan itu agak sedikit kesusahan karena satu tangannya memegang wadah infus sedangkan satu tangannya merangkul pinggang Nanda.

"Makasih." Ucap Binar saat Nanda berinisiatif membuka pintu sendiri. Binar kembali memapah Nanda untuk keluar dari kamar mandi. Binar menuntun Nanda untuk kembali ke ranjangnya. Pria itu mengambil kantong infusnya lalu menggantungnya di tiang infus sebelum berbaring di ranjang pasien.

"Hp Abang mana, Dek?"

Binar membuka laci lemari kecil di samping ranjang Nanda lalu mengambil ponsel di sana dan menyerahkannya pada Nanda. Pria itu langsung mengotak-atik perangkat Android yang diberikan oleh Binar.

"Dek,"

"Eum."

"Kapan kamu mau pindah ke rumah Abang?"

"Ga tau."

Nanda menghela napas. Binar selalu memberikan jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama. Ini sudah masuk bulan keempat sejak Binar menginjak tanah Bandung. Namun perempuan itu belum bisa juga memutuskan untuk segera pindah dan tinggal bersama dengan Nanda dan Athaya.

"Kamu gak capek? Tiap hari bolak-balik terus dari rumah kamu ke rumah abang dan dari rumah Abang kembali ke rumah kamu. Bawa aja barang-barang kamu ke rumah Abang. Kita sudah punya buku nikah, apalagi yang kamu khawatirkan?"

Binar diam. Sekarang dia memang tidak punya alasan lagi untuk menutupi hubungannya dengan Nanda, toh, pernikahan mereka sudah sah secara agama maupun hukum. Satu-satunya yang membuatnya gusar adalah pandangan para tetangga terhadap dirinya. Binar masih takut jika orang lain memikirkan hal buruk tentang dirinya.

"Aku belum yakin." Pandangan Binar terlalu jauh ke depan. Perempuan itu tidak ingin benar-benar tinggal bersama Nanda sebelum dia punya jaminan bahwa dia akan bisa hidup dengan baik jika dia bersama pria itu.

"Apa?" Nanda mengernyit. Mereka mengenal satu sama lain bukan baru sehari dua hari. Mereka sudah bersama sejak 22 tahun yang lalu. Nanda mengenali Binar sampai ke dalam-dalamnya, begitu pula sebaliknya. Entah apa lagi yang diragukan oleh perempuan itu.

"Tidak ada jaminan Abang akan membuatku bahagia."

"Abang harus seperti apa? Bilang kamu maunya apa? Kamu mau kehidupan yang seperti apa? Abang akan mewujudkannya untuk kamu. Abang akan menjadi suami seperti yang kamu mau. Tinggal bilang aja kamu sebenarnya maunya apa?"

"Kita bicarakan ini lain kali." Binar memutuskan pembicaraan. Kalau ditanya apa yang dia mau, Binar sama sekali tidak bisa menjawabnya. Dia akan memikirkan hal itu baik-baik sebelum mengutarakannya pada Nanda.

"Kalau Abang udah boleh pulang, kalian tidur sama Abang ya." Nanda menatap Binar penuh permohonan.

"Kalau aku gak mau?"

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang