Nanda kembali melirik ponselnya, memeriksa waktu yang tertera di sana. Ini sudah tepat jam 12 malam namun belum ada tanda-tanda bahwa Binar akan segera pulang. Saat izin pergi tadi Binar mengatakan akan pulang sebelum jam 10 malam, namun kini bahkan perempuan itu sudah terlambat lebih dari 2 jam.
"Kamu belum mengantuk?" Suwardi menggerakkan buah caturnya, mencoba mengecoh Nanda. Namun sepertinya hanya tubuh Nanda yang berada di sana sedangkan pikiran menantunya itu sudah pergi entah kemana.
"Nanda? Giliran kamu!"
"Kenapa, Yah?" Nanda tersentak dari lamunannya.
"Kamu ngantuk?"
Mengantuk? Dia tidak akan bisa tidur sebelum Binar pulang. Itulah alasan dia duduk di teras Suwardi selarut ini. Dia bisa saja pulang ke rumahnya sedari tadi, namun dia tetap memilih tinggal di sana, menunggu kabar dari Binar. Bisa saja perempuan itu mengabari Suwardi tentang keberadaannya. Menunggu di rumah dengan perasaan khawatir sama sekali bukan hal yang menyenangkan sementara Binar tak kunjung membalas pesan-pesan yang dia kirimkan.
"Giliran kamu."
"Oh iya." Nanda menggerakkan buah caturnya ke sembarang arah. Asal-asalan saja.
"Salah langkah, Nanda!" Suwardi mengambil buah catur yang tadi digerakkan Nanda lalu meletakkannya pada tempat semula.
"Eh maaf," Nanda menggaruk kepalanya, tidak bisa fokus pada pemainan catur yang sedang mereka mainkan. Sejak tadi dia memang hanya memikirkan Binar yang tak kunjung pulang padahal ini sudah larut malam. Kekhawatirannya semakin menjadi saat tak ada satupun pesannya yang dibalas oleh Binar. Nanda sudah gatal ingin segera menelepon perempuan itu, namun di lain sisi dia juga enggan melakukannya.
"Jalan!"
Nanda mencoba memfokuskan diri pada papan catur yang terbentang di depannya. Kondisi pikirannya yang terbagi ke berbagai hal membuat konsentrasinya pecah. Dia sulit berpikir, sulit mencari solusi untuk bisa menguasai permainan dan mengalahkan mertuanya itu. Semua buah caturnya berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk dirinya. Tidak ada jalan keluar, dia hanya melihat jalur buntu. Prediksi semua langkah pada buah caturnya hanya akan membuat dirinya menjadi umpan. Apapun gerakannya dia hanya akan menjadi umpan untuk buah catur lawan.
Tidak ingin membiarkan ayah mertuanya menunggu lebih lama, Nanda akhirnya menggerakkan buah caturnya. Bukan sebuah langkah yang akan dia ambil di waktu lain, namun kali ini dia benar-benar tidak bisa memutar otaknya.
Satu gerakan untuk langkah bunuh diri. Nanda memilih kalah sebagai langkah terakhir. Akan lebih baik jika permainan itu segera berakhir. Dia tidak ingin memutar otak lagi, tidak ingin berpikir terlalu banyak. Itu hanya akan menambah beban di kepalanya yang sejak tadi terus memikirkan Binar.
"Skak!" Suwardi tersenyum lalu menghela napas panjang sambil menyenderkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Nanda?"
"Iya."
"Mengalah sebelum dikalahkan dalam sebuah permainan itu bukan sikap pemain jagoan."
Nanda tersenyum miris sambil memainkan pion di atas papan catur. Sesekali tatapannya lari ke jalan lalu beralih pada Suwardi. "Aku memang pecundang." Lirihnya. Sebuah pengakuan untuk dirinya sendiri. Dia bukan hanya telah menjadi pecundang dalam permainan tapi juga dalam kehidupannya sendiri.
"Tidak biasanya permainan kamu sejelek ini."
Nanda terkekeh dengan komentar yang baru saja keluar dari mulut mertuanya itu. "Mungkin karena skill catur ayah yang meningkat." Nanda menunjukan papan catur, "buntu, gak ada jalan keluarnya kalau udah begini. Mau gerak kemanapun tetap saja bakalan dimakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Become Magister Or Become Mother
Random⚠️Kalau berkenan kalian bisa baca Broken Touch dulu ya guys biar lebih nyambung. Kecewa karena tidak lulus tes fisik saat mendaftar sebagai CPNS kejaksaan membuat Binar nekat pulang ke rumah orangtuanya. Empat tahun lebih menghindari masa lalu buruk...