Part 22

11.4K 1.1K 153
                                    

Binar mengaduk susu di gelas lalu menyodorkannya pada Athaya. "Dihabisin sayang, ya!"

"Iya, Bunda." Athaya segera meneguk susunya hingga sebagian. "Bunda kok hari ini sepi, ya? Bunda ngerasa ada yang aneh gak?"

Binar menghentikan kunyahan roti di mulutnya. Athaya benar, seperti ada sesuatu yang hilang hari ini, tapi perempuan itu sama sekali tidak bisa menebak apa yang membuat suasana pagi ini terasa berbeda. Terasa sunyi dan dingin. Tapi bisa jadi itu karena udara yang sedang mendung sehingga rasa dingin menusuk kulit. Tapi sepertinya juga bukan karena itu. Ini rasanya seperti ada yang hilang.

"Bunda, ayah kok gak turun ya? Ini kan udah telat."

"Eh iya juga ya. Apa ayah udah pergi lebih dulu?"

Setelah Athaya dan Binar berpikir cukup lama, suasana aneh itu terjadi karena ketidakhadiran Nanda. Pantas sunyi, pagi ini tidak ada Nanda yang terus merecoki mereka dengan kata maaf dan berbagai alasan dari mulut pria itu agar Binar dan Athaya tidak bersikap dingin lagi pada dirinya..

"Kamu yakin gak mau baikan sama ayah?" Binar sebenarnya senang jika Athaya lebih dekat dengannya dan mengabaikan Nanda. Itu membuatnya merasa menang tapi lama-lama kondisi rumah mereka yang seperti ini juga mengganggu dirinya. Kalau dipikir-pikir kelakuannya dengan Athaya sudah jauh melenceng. Tidak seharusnya Binar mengarahkan Athaya pada perilaku buruk dengan mengabaikan Nanda.

"Gak tahu." Athaya mengangkat kedua bahunya.

"Sebenarnya bunda salah karena telah mendukung sikap kamu terhadap ayah dalam beberapa hari ini. Yang seharusnya bunda lakukan adalah menasihati kamu, bukan malah senang karena pada akhirnya bunda bisa lebih unggul dari ayah." Binar mengambil dan meneguk habis sisa air di gelasnya.

"Kenapa gitu?" Athaya mengernyit.

"Ya karena mau gimanapun, ayah itu ayah kamu, orang tua kamu." Binar diam. Ada sesuatu yang menohok hatinya. Dia pernah mendengar bahwa anak yang lahir di luar hubungan yang sah secara agama, nasab sang anak tidak bersambung dengan ayah biologisnya. Lalu bagaimana dengan Athaya? Bukankah anak dari hasil perzinahan.

Binar menghela napas panjang. Mau apapun hubungan antara Athaya dan Nanda, anaknya itu tetap harus menghormati Nanda. "Sikap kita yang m nyakitin hati ayah adalah perbuatan dosa. Allah bisa marah. Kita tidak boleh menyakiti orang lain walaupun orang itu sudah bersikap buruk pada kita. Apalagi kalau itu adalah orang tua kita. Kita bisa durhaka kalau tidak memperlakukan orang tua dengan baik."

"Aku udah gak marah sebenarnya. Tapi kalau bunda masih marah sama ayah, aku bisa terusin jauhin ayah." Athaya meneguk satu teguk lagi susunya. "Menurut bunda, apa yang dijanjikan ayah apa bisa dipercaya? Aku akan berhenti ngambek kalau ayah benaran gak akan tinggalin kita lagi."

Awalnya Athaya dan Binar memang merasa sangat puas saat melihat Nanda jera dengan perlakuan mereka yang terus mengabaikan pria itu. Tapi lama-lama, semua itu terasa tidak menyenangkan juga. Nanda yang selalu murung membuat mereka tidak nyaman, terutama Athaya. Anak itu ikutan murung juga saat melihat wajah ayahnya yang murung.

"Apa kita baikan aja sama ayah?" Binar mencoba meminta pendapat Athaya sekali lagi. Di satu sisi dia merasa kasihan terhadap Nanda. Pasti pria itu melewati hari-hari yang berat karena diabaikan oleh Athaya. Tapi di sisi lain dia masih menyimpan rasa kesal dengan sikap pria itu tempo hari.

"Aku terserah bunda aja."

"Nanti kita pikirkan lagi. Kamu bisa tolong bunda?"

"Apa?"

"Coba ke kamar, kalau ayah masih di rumah, suruh ayah sarapan."

"Jadi kita berhenti ngambekannya?"

"Kalau ayah gak kerja. Kita gak bisa minta uang jajan yang banyak." Binar sendiri juga bingung harus berbaikan dengan pria itu atau tetap mempertahankan sikap acuhnya. Tapi kalau dipikir-pikir selama hampir 4 tahun lebih, mana pernah dia berbaikan dengan Nanda. Seingatnya dia selalu menanam permusuhan terhadap pria itu.

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang