Part 9

15.6K 1.5K 173
                                    

Binar menutup pintu kamarnya. Suara Mirna yang sedang marah-marah menarik perhatiannya. Binar mendekat, berdiri di samping pintu lalu mengintip ke dalam dari sela-sela pintu yang terbuka. Binar dapat melihat kalau adiknya itu sedang menelepon seseorang.

"Itu rokok kamu. Kok aku yang kena?"

Binar masih berdiri di pintu. Mendengarkan semua percakapan membingungkan tentang rokok. Mirna lebih banyak meneriaki makian daripada berbicara. Apa adiknya jualan rokok?

"Anjing! Aku gak peduli. Pokoknya kamu bilang itu rokok kamu. Aku gak mau tau. Aku gak mau libur sekolah lagi. Bunda bisa marah."

Kali ini Binar menangkap lebih banyak hal dari percakapan Mirna. Gadis itu sudah tidak masuk sekolah selama 3 hari. Alasannya sakit perut. Tapi setelah mendengar percakapan yang Mirna lakukan tadi sepertinya adiknya itu punya alasan lain. Itulah penyebabnya Mirna tidak mau ke doktor walaupun bunda sudah memaksanya. Mirna tidak sakit. Adiknya itu pasti punya masalah di sekolah.

"Kenapa?" Binar masuk. Menghampiri Mirna yang sepertinya sedikit terkejut dengan kehadirannya. Remaja itu langsung menutup telepon dan memasukkannya ke saku.

"Ga ada." Cicit Mirna.

"Ada." Tekan Binar. Perempuan itu mendekati adiknya, berusaha mengintimidasi Mirna. Tapi gadis itu sepertinya sama sekali tidak terintimidasi. 

"Apaan sih? Orang bilang gak ada." Mirna masih ngotot.

"Oke. Biar kamu jelasin ke ayah aja." Binar membalikkan badan lalu berjalan menuju pintu. Binar berharap adiknya itu akan memanggil dirinya dan menceritakan banyak hal. Perilaku Mirna sekarang ini sungguh sangat meresahkan. Gadis itu jadi sering berbicara kasar, walaupun mulut Binar juga tak kalah mengerikan. Tapi tetap saja untuk anak semanis dan sebaik Mirna bisa berubah dalam waktu 4 tahun membuatnya sedikit resah. Walaupun sering bertengkar, Binar sangat menyayangi adiknya itu.

"Kak!"

Binar menyunggingkan senyum. Ayah adalah ancaman paling jitu setiap kali mereka bertengkar. Baik dirinya atau Mirna pasti akan memilih mengalah jika salah satu dari mereka membawa nama ayah dalam pertengkaran mereka. Diintrogasi oleh Suwardi berarti mereka harus siap membeberkan semuanya tanpa perlu ditanya.

"Jadi kenapa?" Binar mendekati Mirna lagi.

"Aku akan sebarin hubungan kakak dengan bang Nanda kalau kakak aduin ke ayah." Mirna balas mengancam.

Binar diam. Memikirkan betul-betul ancaman Mirna. Apa dia siap jika para tetangga tahu tentang mereka. Orang-orang pasti akan  memandang aneh pada pernikahannya dengan Nanda. Jika orang-orang tidak memandangnya sebagai perempuan yang kebablasan hamil di luar nikah maka orang-orang akan mengecapnya sebagai perebut tunangan orang lain. Tapi lambat laun para tetangga juga akan tahu kalau Athaya adalah anaknya. Binar jadi penasaran bagaimana cara Nanda membuat akta kelahiran Athaya. Apakah ada nama dirinya sebagai orang yang melahirkan Athaya atau bahkan anak itu tidak punya akta kelahiran? Lalu bagaimana cara anak itu di masukkan sekolah? Entah bagaimana cara pria itu menutupi identitas ibu Athaya selama 4 tahunan lebih?

"Aku gak peduli. Cepat atau lambat semua orang akan tahu kok kalau aku udah menikah dengan bang Nanda. Lagian kami mau resmiin pernikahan juga. Kami akan buat resepsi yang meriah." Binar tersenyum lebar saat melihat muka Mirna yang keruh. Soal peresmian pernikahan dan resepsi, itu hanya pemanis kata saja. Mana mau Binar meresmikan pernikahannya apalagi sampai mengadakan resepsi. Membayangkan berdiri dengan gaun cantik sambil tersenyum lebar di dampingi Nanda saja membuatnya mual apalagi kalau benaran terjadi.

"Aku dapat surat panggilan orang tua ke sekolah." Lirih Mirna.

"Prestasi apalagi kali ini?" Sarkas Binar. Selama di SMA Mirna sudah membawa 4 surat panggilan orang tua ke rumah. Berkelahi dengan siswi lain, bolos sekolah, dan berkali-kali mendapat nilai di bawah rata-rata, entah apalagi kesalahannya kali ini hingga Mirna kembali membawa surat itu ke rumah.

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang