Part 43

4.6K 452 42
                                    

Suara klakson dibunyikan berkali-kali dengan tidak sabaran. Hilang sudah kesabarannya menunggu Binar bersiap-siap. Padahal Nanda sudah memperingatkan perempuan itu untuk bergegas karena dia punya banyak kerjaan yang belum diselesaikan. Namun nyatanya bahkan setelah 30 menit menunggu di pekarangan, Binar masih belum keluar juga.

Putus asa menunggu lebih lama, Nanda bergerak keluar dari mobil lalu berjalan ke teras. "Athaya tolong panggilin bunda ya. Suruh cepat dikit siap-siapnya."

"Gak mau."

"Athaya!" Nanda sedikit menekan suaranya untuk memberi peringatan pada Athaya.

"Ayah aja. Nanti kalau aku yang bilang, bunda gak akan nurut." Tolak Athaya tanpa sekalipun melirik ke arah ayahnya. Dia sedang sibuk bermain game di tablet dan sama sekali tidak ingin terganggu dengan tugas merepotkan itu.

Jelas bukan hal mudah membuat Binar menjadi orang yang penurut. Nanda cukup tahu itu makanya dia menyuruh Athaya yang memanggil Binar. Dia tidak ingin menjadi lebih kesal lagi karena sikap Binar yang pembangkang itu. Moodnya sudah cukup rusak dan dia tidak akan bisa menahan emosi jika dipicu sedikit lagi.

Athaya adalah satu-satunya orang yang dapat membantunya sekarang tapi sepertinya anak itu juga sudah terkontaminasi sikap Binar. Nanda menghela napas lalu menarik tablet dari tangan Athaya, "ini terakhir kalinya ayah liat kamu main iPad."

Athaya terlonjak kaget, "ayah!" Rengeknya sambil menjulurkan tangan pada Nanda.

Nanda sedikit menjauh agar Athaya tidak mencoba merebut tablet itu dari tangannya. Pria itu mulai memeriksa isi perangkat itu dengan dahi yang terus berkerut.

"Siapa yang masuin game ini ke sini?"

"Bunda."

"Kamu main?"

"Iya."

"Kamu masih kecil. Gak boleh main game kayak gini. Nanti kamu jadi orang jahat kalau main game pukul-pukulan kayak gini." Nasihat Nanda.

"Ayah jangan dihilangin!" Teriak Athaya saat melihat satu persatu game ditabletnya hilang. "Aku suka yang itu! Ayah aku suka tembak-tembak!"

Tidak ada satupun teriakan dan jeritan Athaya yang didengarkan Nanda. Pria itu terus menghapus satu persatu game yang menurutnya kurang cocok untuk dimainkan anak seusia Athaya. Setelahnya dia mendownload beberapa game lain yang menurutnya cukup mengedukasi dan bermanfaat untuk perkembangan pengetahuan anaknya itu. Tidak cukup menguninstal semua game Athaya, Nanda juga memutuskan sambungan WiFi sebelum mengembalikan tablet itu pada Athaya. "Itu udah ayah masuin game yang bagus dan bikin kamu pintar."

Athaya mengambil cepat tabletnya dengan senyum lebar yang kemudian segera luntur ketika dia memeriksa tablet itu. "Semua hilang. Semua yang bagus-bagus dihapus." Celoteh Athaya tidak terima. "Ini kok gak bisa? Kenapa gak bisa?" Athaya menunjuk-nunjuk layar tabletnya.

"Udah ayah matiin Wifi-nya."

"Ayah jahat!"

"Itu iPadnya ayah kasih biar kamu bisa belajar sambil bermain bukan untuk main game pukul-pukulan kayak gitu. Mau jadi preman kamu pas gede?" Nanda terus menceramahi Athaya tentang kesalahan anak itu dalam memanfaatkan perangkat pintarnya.

Ini adalah hari ke 5 sejak dia kembali dari perjalanan dinasnya. Selama 5q hari ini pula dia selalu melihat Athaya asik dengan tabletnya. Hampir setiap kali dia pulang ke rumah, anak itu pasti selalu sedang fokus memainkan perangkat itu.

"Apa?" Tanya Nanda menantang saat melihat Athaya terus melotot sangar ke arahnya.

"Yang dibilang bunda benar."

Become Magister Or Become MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang