"Nyebelin tau gak sih!"
Nanda menyeret Mirna sedikit menjauh, "sshhh... Jangan teriak-teriak nanti kakak kamu tahu kalau ada Abang di sini."
Kernyitan muncul di kening Mirna saat mendengar pernyataan Nanda, "tapi tadi Abang mau liat kak Binar."
"Iya. Liat aja bukannya mau ketemu." Nanda menghela napas saat melihat ekspresi kebingungan di wajah Mirna, "kamu aja yang masuk ke kamar kak Binar terus pintunya kamu buka dikit biar Abang bisa liat ke dalam. Setelah itu Abang pulang. Jangan sampai kak Binar tahu Abang ke si,"
"Banci banget." Belum sempat Nanda menyelesaikan perkataannya, celutukan Mirna sudah menyela lebih dulu. "Sorry...jangan tersinggung, aku gak ngatain Abang." Mirna mengangkat 2 jarinya.
Nanda menarik napas panjang sebelum tersenyum, menyabarkan diri dengan sikap Mirna yang sama nyebelinnya dengan Binar. "Sekarang kamu masuk, bukain pintunya."
"Kak Binar!" Teriakan Mirna menggelegar di depan pintu kamar Binar. Beberapa detik kemudian, teriakan dengan nada yang sama terdengar dari dalam, menyuruh supaya Mirna masuk saja.
Begitu Mirna membuka pintu, Nanda segera mendekat. Dia berdiri menempel di dinding yang berada di sisi pintu, kepalanya berusaha melongok untuk melihat ke dalam kamar. Pria itu langsung mendesah kecewa saat hanya kegelapan yang menyambutnya di sana.
"Hidupin lampunya!" Bisik Nanda setelah menepuk bahu Mirna pelan.
"Lampunya aku nyalain aja, ya!"
"Jangan!"
"Taruh aja di situ, nanti aku makan kalau udah lapar. Kamu bisa keluar."
"Aku gak bawa apa-apa. Cuma mau ngobrol sama kakak. Tapi boleh gak aku nyalain lampunya, bentar aja."
Hanya gumaman mengiyakan yang keluar dari mulut Binar. Mirna langsung meraba-raba dinding dan sesaat kemudian dia hampir tersedak jeritannya sendiri saat lampu berhasil dinyalakan.
"Kakak kenapa?" Tanya Mirna tak paham dengan posisi aneh tubuh Binar saat ini. Binar setengah kayang di atas kasur, rambut panjangnya menjuntai ke bawah. Jika tak ada Nanda di luar sana mungkin Mirna sudah sejak tadi lari pontang panting meninggalkan perempuan itu.
"Peregangan." Binar menjatuhkan tubuhnya dalam posisi telungkup lalu menarik selimut hingga ke bahu.
"Ayo jalan-jalan, jangan di kamar terus. Atau ke rumah sakit aja, mau? Aku mau ke sana."
Kepala Binar yang terbenam di kasur kembali melakukan gelengan. "Duluan aja."
"Oke." Mirna memutuskan untuk keluar saja dari kamar Binar. Tidak ada gunanya dia berada di sana sedangkan Binar bersikap seolah-olah perempuan itu adalah salah satu bantal atau selimut yang tidak bisa lagi dipisahkan dari kasur.
"Lampu, pintu!"
Teriakan tak jelas dari Binar membuat Mirna berdecak sebal, tapi tetap kembali masuk ke kamar dan melakukan apapun yang sekiranya dimaksudkan Binar. Matikan lampu lalu tutup pintu, mungkin itu.
"1 juta." Mirna menadahkan tangan di hadapan Nanda.
Nanda mengernyit. Seingatnya Mirna tadi hanya meminta 300 ribu untuk membantunya bertemu dengan Binar. Menurutnya itu sudah merupakan harga yang lumayan mengingat kerjaan Mirna hanya membuka pintu kamar Binar saja agar dia bisa melihat perempuan itu.
"300. Sesuai kesepakatan." Sangkal Nanda tak setuju. Dia bahkan tadi tidak begitu jelas melihat bentukan Binar di dalam sana. Jadi, tak seharusnya gadis itu memalaknya sedemikian rupa.
"Aku gak mau lagi jadi babu kak Binar. 350, 350...700, yang tadi 300. 1 juta."
"Kamu yakin gak mau? Kerjaan kamu mudah gitu kok, tinggal bantu-bantu waktu kak Binar butuh aja. Kasian dia lagi sakit gitu. Gak boleh banyak gerak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Become Magister Or Become Mother
Random⚠️Kalau berkenan kalian bisa baca Broken Touch dulu ya guys biar lebih nyambung. Kecewa karena tidak lulus tes fisik saat mendaftar sebagai CPNS kejaksaan membuat Binar nekat pulang ke rumah orangtuanya. Empat tahun lebih menghindari masa lalu buruk...