5. KTP PENYELAMAT

462 38 3
                                    

KTP PENYELAMAT

Gedung berlantai dua berdiri kokoh memanjang sepuluh pintu memenuhi pinggiran jalan. Masing-masing terisi oleh penyewa yang menjalankan usahanya. Tepat di pintu ke lima, rolling door berwarna hijau daun pisang. Sebuah toko furniture milik penduduk asli Indonesia buka di antara toko-toko lain milik etnis Tionghoa.

Di samping kanan sebuah kedai kopi milik Cece Rosalin. Di samping kiri toko lampu dan aksesoris milik Ko Weysle, lalu di sebelah Ko Weysle sebuah toko sepeda juga milik etnis Tionghoa. Lalu tepat di sebrang jalan, bengkel motor yang dapat di pastikan milik etnis Tionghoa berjajar menyewa ruko tiga lantai dengan dinding keramik berwarna ungu.

Jika diamati, sebuah toko furniture dengan harga per item menyentuh angka hampir empat juta rupiah buka di antara usaha lain dengan pangsa pasar ekonomi menengah ke bawah. Namun, hal tersebut seolah dibantah melihat pelanggan kedai kopi milik Ce Rosalin selalu didatangi pembeli dengan plat mobil merah ataupun mobil pribadi dengan harga hampir setengah miliar. Tak jarang anggota kepolisian ataupun tentara juga ikut menikmati kopi hitam yang menjadi menu terlaris.

Berbanding terbalik dengan Mia Furniture yang satu pun sepi tak ada parkir kendaraan. Terhitung sudah empat jam toko buka. Dua karyawan yang sedang duduk di sofa paling belakang berwarna abu-abu sedang asik bercerita seraya menunggu pembeli datang.

"Kayak mana ini, Bang?" tanya wanita berusia dua puluh tiga tahun menyandang status sebagai ibu anak satu. Bantal berbentuk persegi berhias kancing bermotif bulat dijadikan sandaran agar nyaman bercerita.

"Apanya?" ujar seorang pemuda berusia dua tahun lebih tua darinya.

"Ibu mertua aku gak bisa jagain Dara sampai Mas Danu pulang kerja."

"Jadi gimana? Harus berhenti kerja?" tanya pemuda tersebut dengan raut penasaran.

"Mas Danu bilang jangan dulu. Cari orang yang bisa gantikan aku untuk setengah hari bekerja di sini, Bang."

"Ada apa dengan mertua Meta? Bukannya kemarin aman-aman aja untuk jagain Dara."

"Bapaknya Mas Danu buka usaha jualan bakso di rumah. Jadi, Ibu harus membantu Bapak, Bang."

"Jualan bakso, Ta??" Pemuda tersebut terlihat antusias.

"Iya, Bang. Bang Aakash kan suka bakso. Mampir lah, Bang."

"Iya. Aman itu. Aku pasti mampir." Pemuda berjaket denim tersebut begitu bersemangat jika sudah berkaitan dengan makanan kesukaannya.

"Jadi gimana, Bang, kerjaku? Mau gak ya, kalau Kakak aku carikan orang untuk mengisi setengah hari?"

Aakash menyesap kopi hitam yang baru saja dipesan dari kedai sebelah milik Ce Rosalin. "Kalau menurut aku mungkin Kakak mau. Coba aja dibicarakan secara baik-baik. Moodnya mumpung lagi baik hari ini. Nanti kalau udah sensi susah."

"Berarti untuk gaji Meta bagi dua dengan yang mengisi setengah hari? Tapi menurut aku kenapa gak berhenti aja. Lebih fokus jagain anak kan kalau di rumah?" Aakash mengungkapkan pendapatnya untuk partner kerjanya selama lima tahun ini.

"Mas Danu gak setuju, Bang. Katanya lumayan untuk tambahan keuangan di rumah. Susu Dara mahal, Bang."

Aakash mengangguk saja. Mengerti bahwa kebutuhan rumah tangga lebih kompleks. "Setengah hari berarti sekitar jam dua belas ganti shift?"

"Enggak, Bang. Jam kerja kita kan dari jam sembilan pagi sampai jam tujuh malam. Berarti dari jam dua sudah ganti shift. Kalau ada penggantinya." Mbak Meta terkekeh di akhir kalimatnya.

"Tetangga Meta, atau kenalan Meta mungkin ada yang kosong waktu sorenya. Kenapa gak ditawari aja?"

Mbak Meta spontan teringat sesuatu ketika Aakash menyebut kata tetangga dari mulutnya. "Ngomongin soal tetangga, Bang. Aku mau cerita soal tetangga aku. Ya Allah, Bang, aku sama Mas Danu sampai mau nangis melihatnya. Kasian, Bang, anaknya. Ayahnya masih ada tapi gak peduli lagi dengan nasib keluarga. Ibunya juga masih ada, tapi sekarang sakit divonis kanker."

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang