20. PENOLAKAN

187 21 1
                                    

PENOLAKAN

Perumahan elit yang di dalamnya ditinggali oleh seorang remaja perempuan tengah meluapkan amarahnya pada barang yang tertata rapi di kamarnya. Bed cover yang terletak rapi di atas kasur berukuran super king size ditarik ke bawah dengan kasar. Bantal dan boneka yang juga tertata rapi berjatuhan ke karpet bulu berwarna ping yang sama dengan warna bed cover. Pernak-pernik yang tertata di rak juga ikut terhempas menggunakan tangan kosong hingga menimbulkan suara pecahan yang beruntun.

Sebuah foto keluarga yang berada di sudut rak hampir saja ikut menjadi korban. Tatapan tajam dan deru napas serta rambut menutupi sebagian pandangannya sengaja menghentikan pergerakannya. Ingatannya melayang pada memori beberapa tahun silam kala melihat foto tersebut. Ingatan paling manis hingga paling buruk sekalipun bercampur menjadi satu.

Lelehan air mata langsung menetes saat itu juga. Ingatan buruknya lebih mendominasi saat ini.

"Saya mau cerai dari kamu, Mas!"

"Dasar laki-laki tidak tahu diuntung! Kurang apa saya, hah?! Kurang apa keluarga saya? Kurang apa orang tua saya memodali seluruh bisnis mu?!"

"Sherina? Dengarkan saya. Saya bisa jelaskan semuanya." Laki-laki dewasa itu berusaha menghentikan tangan istrinya yang sedang mengemas barang ke dalam koper.

"Kamu ingin ke mana sepagi ini, Sherina? Kita bisa bicara baik-baik dengan pikiran tenang. Kamu dengar kan saya dulu, Sherina?"

"Apa, Mas? Apa yang perlu saya dengar lagi? Kebohongan mana lagi yang akan kamu jadikan tameng, hah?! Habiskan seluruh uangmu untuk perempuan murahan itu!"

"Lalu bagaimana dengan anak kita? Kamu tega ninggalin dia?"

Wanita dewasa yang sedang menyeret koper itu sontak berhenti dan menatap ke belakang. "Yang menginginkan anak itu kan kamu. Bukan saya. Silakan kamu urus dia sendiri!"

"SHERINA!" bentak laki-laki itu lalu menarik koper yang di pegang oleh istrinya. "Kamu tidak bisa lepas tanggungjawab seperti ini."

"Lepas tanggungjawab? Hahaha! Kalau kamu gak main api di belakang saya. Saya tidak akan melakukan ini terhadap kamu dan anak kita. Sekarang saya sudah tidak peduli. Biar saya yang mengurus ke pengadilan nanti."

"Kalau kamu nekat melakukan ini saya juga tidak mau mengurus anak itu!"

Prang!!

Bingkai foto yang semula tak ingin diganggu-gugat justru terhempas kuat meninggalkan serpihan tajam. Teriakan mengisi kamar yang begitu luas berbarengan isak tangis yang menyayat hati. Rambut keriting yang tergerai dicengkram bersamaan kaki yang lemas meluruh ke lantai.

"GUA GAK MINTA DI LAHIRKAN! AAARRGGHHHHH!"

Alesha menangis sejadi-jadinya. Karpet yang dia duduki dipukul kuat menggunakan kakinya. Tangannya menarik bulu-bulu halus karpet. Dalam tangis yang sesenggukan dia berucap penuh dendam dan amarah yang tak bisa diluapkan dulu. Rasa benci juga sama besarnya seperti amarah dan dendam yang menyatu.

"Dasar orang tua gak bertanggungjawab! Gue benci mereka!"

Sejak saat itu hidup Alesha menjadi sangat kelabu. Perpisahan orang tuanya adalah part menyakitkan dalam hidupnya. Saat itu tak ada yang ingin mengurusnya. Seperti ucapan Papa dan Mamanya dulu. Mamanya pergi ke luar negeri dan Papanya menghilang entah ke mana. Alesha hanya bersama asisten rumah tangga yang dibayar dengan gaji besar demi merawat Alesha.

Hingga kini asisten rumah tangga itu masih setia menemani Alesha di rumah super megah peninggalan orang tuanya. Tak pernah lagi Alesha rasakan kasih sayang di rumah ini. Di hati Alesha selalu mengatakan 'tidak apa'. Setidaknya setengah dari beban masalahnya terasa ringan karena uang yang diberikan oleh Papa dan Mamanya setiap bulan.

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang