2. DI MANA BELAS KASIH AYAH?

594 45 2
                                    

DI MANA BELAS KASIH AYAH?

Pecah belah yang tadi berserak di dapur Kiara kutip satu persatu setelah rasa sakit di tubuhnya berkurang. Sendok, tudung saji, gelas kaca yang pecah pelan-pelan Kiara bersihkan. Malam belum larut. Adzan isya terdengar nyaring di telinga Kiara yang sedang berjongkok memegang serpihan kaca. Tangannya yang kurus gemetar mengutipnya.

Kiara berkali-kali menutup mata bahkan menggeleng kuat mengenyahkan ingatan kasar tentang perbuatan ayahnya. Bibir Kiara pucat. Keringat dingin mengalir saking takutnya. Alam bawah sadar Kiara merekam semua perbuatan ayahnya malam ini dan malam sebelumnya.

"Kiara takut! Kiara takut!" Kiara berulang kali menyuarakannya dengan gemetar. Jaket yang kini dia kenakan terus dipeluk erat-erat. Tak akan Kiara lepaskan jaket ini. Dirinya terlalu takut melihat lebam baru dari tangkai sapu yang menghantam sekujur tubuhnya.

"Kiara, sholat, Nak." Kalingga berujar lirih. Wanita berusia 45 tahun tersebut keluar dari kamar mandi dengan butir air menghiasi wajah yang terdapat lebam dan bibir semakin terlihat pucat.

Kiara menatap ibunya dengan sorot mata terkejut bercampur panik. Cairan kental berwarna merah mengalir keluar dari hidung ibunya. "YA ALLAH, IBU!" Kiara menjerit dan mengelap darah itu. "Ibu kenapa sekarang sering mimisan, Bu? Ibu sakit?"

Kalingga menggeleng. Wajahnya terlihat menahan sakit di sekujur tubuhnya. Sudah lama sakit ini menusuk tubuh Kalingga, namun sampai hari ini Kalingga masih bisa menahannya.

"Ibu kecapekan aja, Kiara-Akhh.. ya rabbi!" Kalingga terduduk di depan kamar mandi karena badan dan kepalanya mendadak terasa lebih sakit. Darah yang mengalir juga tak kunjung berhenti membuat Kiara semakin kalang kabut.

"Bu? Ibu kenapa, Bu?"

"Bu, bangun, Bu, bangun! Ya Allah, Ibu kenapa?" tanya Kiara pada Sang Pencipta dengan suara bergetar dan jantung berdetak hebat.

Kiara segera berlari keluar menuju rumah tetangganya. Tangan Kiara menggedor kasar pintu rumah bercat coklat yang sedang tertutup.

"Mbak Meta? Assalamualaikum."

"Mbak? Mas Danu? Ini Kiara. Tolong Mbak, Mas!" jerit Kiara tak peduli kalau tetangganya ini memiliki seorang bayi berusia delapan bulan.

"Waalaikumsallam. Ada apa, Kiara?" Mas Danu buru-buru membuka pintu karena panik mendengar Kiara menjerit.

"Mas, tolongin Ibu! Ibu pingsan, Mas. Kiara minta tolong bawa ke rumah sakit ya, Mas?"

"Astaghfirullah, sebentar Mas kabari Mbak dulu."

Kiara mengangguk. Tangannya meremas ujung jaket.

"Kiara, kamu balik ke rumah. Mas ke rumah Pak RT untuk pinjam mobilnya." Lagi-lagi Kiara mengangguk dan berlari. Bahkan kakinya masih terbungkus sepatu sekolah. Disusul dari belakang Mbak Meta ikut berlari seraya menggendong anaknya karena tidak ada yang menjaga di rumah.

***

Walau sudah mendapat penanganan dari rumah sakit Kiara belum bisa bernafas lega. Kini gadis itu sedang mencari keberadaan ayahnya di sekitar pasar besar yang terletak di ujung jalan Jendral Sudirman. Tepatnya bersebrangan dengan salah satu mall besar di sana.

Kiara memandangi remang lampu yang menerangi lapak-lapak di pinggir jalan. Kiara mengeratkan jaket dan melangkah masuk menelusuri emperan toko yang mungkin saja ayahnya berada di sana. Kiara tidak ingin melakukan hal ini jika bukan karena kondisi ibunya. Ayah harus tahu kondisi ibu!

Belum jauh dia melangkah. Kiara sontak menjerit kaget karena lengannya yang kecil di tahan oleh seseorang.

"Mau ke mana lo, Ki?"

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang