4. SEMUA PERIHAL UANG

439 39 0
                                    

SEMUA PERIHAL UANG

Kiara berjalan mendekati tempat tidur ibunya dengan langkah berat memikul beban di pundaknya. Namun sebisa mungkin dia tersenyum dan menghapus bulir air mata yang masih tersisa. Ibunya tak boleh tahu akan hal ini. Sebisa mungkin Kiara menahan air mata yang akan menetes walau dengan menggigit kuat bibirnya.

Kiara lagi-lagi menghembuskan nafas kasar. Dadanya begitu sesak melihat ibunya terbaring dengan wajah amat pucat.

"Ibu, Kiara akan lakukan apa pun demi kesembuhan Ibu. Kiara janji, Bu."

"Kiara.. Kiara.. Ki?" Panggilan tersebut membuat Kiara segera mendekat dan menggenggam tangan ibunya.

"Ibu, ini Kiara, Bu. Kiara di sini."

Kalingga menatap lemah ke arah Kiara, putri semata wayangnya. Lelehan air mata turun dengan cepat dari mata Kalingga. "Maafkan Ibu, Kiara. Ibu selalu menyusahkan kamu."

Kiara menggeleng kuat. Air matanya gagal dia tahan hingga jatuh di punggung tangan ibunya. "Ibu gak pernah nyusahin Kiara. Ibu gak boleh bicara kayak gitu. Kiara bakal lakukan apa aja demi kesembuhan Ibu. Kiara janji, Bu. Ibu harus sembuh. Cuma Ibu yang sayang Kiara."

Kalingga mengusap pipi tirus putrinya dengan tangan bergetar. "Janji tetap sekolah ya, Nak, apa pun keadaannya. Menuntut ilmu itu wajib hukumnya."

Kiara menggeleng. "Kesehatan Ibu lebih penting dari sekolah Kiara. Uang sekolah Kiara bisa untuk berobat Ibu."

"Jangan Kiara. Sakit ini gak akan sembuh dengan kamu berhenti sekolah. Tapi dengan kamu sekolah, kamu punya ilmu untuk sembuhkan orang sakit di luar sana, Nak."

"Ibuuu!" jerit Kiara dengan suara sesak menahan tangis, "Kondisi Ibu jauh lebih penting sekarang."

"Permintaan Ibu cuma satu Kiara. Tetap sekolah. Tetap mencari ilmu ada atau pun gak ada Ibu nanti."

"Ibu?"

"Janji, Nak. Janji sama Ibu?" Kalingga merintih menahan sakit yang menusuk tulang di sekujur tubuhnya. Hal itu membuat Kiara segera mengangguk bersama air mata terus mengalir. Tak kuasa melihat ibunya menderita seperti ini.

"Kiara janji, Bu. Kiara tetap sekolah demi Ibu."

Kalimat yang Kiara ucapkan ternyata menjadi penutup sebelum keduanya terlelap. Malam ini begitu lelah dan sangat sakit untuk Kiara hadapi seorang diri.

***

Pukul empat dini hari sorot lemah dan penuh ketakutan itu terbuka dengan kelopak mata membengkak serta sekujur tubuh yang sakit. Kiara merintih ketika tubuhnya direnggangkan karena tidur dengan posisi yang tidak benar.

Kiara melangkah ke toilet hanya sekedar membasuh wajah untuk menghilangkan rasa kantuk. Dia melihat wajahnya di cermin petak. Pipi bengkak juga memar, sudut bibir yang terluka serta mata bengkak akibat menangis.

Kiara lagi-lagi menghembuskan nafas kasar. Memberanikan diri untuk membuka kancing jaket ungu yang dikenakan. Kiara menggigit bibirnya dengan mata terpejam. Ketika dia sudah siap untuk melihatnya barulah Kiara membuka mata.

Kedua lengannya lebam. Kiara membuka kemeja bagian atas sekolahnya dan melihat bahunya juga lebam dan bengkak akibat pukulan dari ayahnya. Kiara berjongkok untuk menggulung kaos kaki yang menutupi hingga betis. Lagi-lagi Kiara mendapat lebam dan juga nyeri di sekitar tulang kering akibat pukulan tangkai sapu semalam.

Kiara mendongak sembari menggigit kuat bibirnya. Menahan air mata yang hendak menetes di pagi buta. Kiara menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar. "Ayo, Kiara. Lo bisa! Lo udah biasa dapat luka-luka ini dari Ayah. Bahkan lebih parah dari ini. Masa segini aja lo nangis? Cemen!" Percayalah suara Kiara bergetar saat mengucapkannya. Dia benar-benar takut pada ayahnya. Sangat takut!

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang