40. KEPERGIAN UNTUK SELAMANYA

196 17 0
                                    

40. KEPERGIAN UNTUK SELAMANYA

Aakash Mahendra—laki-laki berjaket denim itu sedang berada di sebuah club untuk menghilangkan rasa sakit hatinya atas kejadian yang membuatnya kembali merasakan kehilangan rumahnya. Laki-laki itu tidak sendiri. Dia ditemani oleh dua orang sahabatnya sejak zaman sekolah menengah. Kedua temannya itu datang untuk menghibur Aakash karena tahu seperti apa latar belakang laki-laki itu.

"Bro, cewek banyak. Udah lah." Axel menyeletuk sembari menepuk pundak Aakash. "Lo liat tuh, beuuhhhhh! Seksi-seksi bodynya." Axel menunjuk beberapa wanita yang berlalu lalang di hadapan mereka.

"Di sini tempatnya cuci mata. Bukan ngegalau bos!" Axel meneguk minumannya yang sedari tadi dia pegang.

Fero berdecak mendengar celotehan Axel yang tak berpengaruh apa pun untuk Aakash. hal itu lantas membuatnya geram dan menepuk paha Aakash. laki-laki berjaket denim itu hanya balas menatap Fero.

"Masih oke-an elo, Kash, dari pada calonnya si Rara."

Axel lantas menjentikkan jarinya dengan semangat. "Bener, Kash. Jelek calonnya. Masih gantengan anjing bini gue di rumah. Menang harta doang. Fisik mah kalah. Perut buncit gitu. Mantan lo tuh turun selera cuma karena duit."

"Serius lo?" Aakash menegakkan punggungnya yang semula bersandar di sofa. "Tau dari mana lo?"

"Link kami banyak lah, Kash. Masih kawannya kawan gue sama Fero juga. Ya kan, Fer?"

"Udah lah, Kash. Lupakan Rara. Udah tau kan lo sekarang dia gimana? Banyak cewek malam ini kita. Gue jajanin lo terserah tinggal pilih." Fero mengeluarkan berlembar uang merah dari dalam dompetnya.

Aakash tak bernafsu melihat gadis mana pun saat ini. Hati dan pikirannya sedang kacau. "No, thanks! Kasih aja ke Axel."

Axel berbinar mendengarnya. Namun Fero dengan cepat kembali meraup uangnya. "Ingat istri lo di rumah!"

Axel lantas kicep ditatap Fero dengan tajam seperti ini. Dia menuang seluruh minuman dalam botol ke gelasnya lalu dihabiskan dalam sekali teguk.

***

Sudah seminggu lebih Kalingga berada di rumah sakit. Selama itu pula Kiara jarang berada di rumah dan lebih sering pulang ke rumah sakit. Kiara merasa bila Ibunya banyak sekali berubah. Mulai dari tatapan matanya terlihat kosong dan sering memandang ke arah langit. Bibirnya yang pucat. Wajahnya juga tidak berseri sebagaimana mestinya. Berkali-kali Kiara menyentuh kulit Ibunya rasanya sangat dingin. Kiara memandang Kalingga dengan jantung berdebar dua kali lebih cepat. Bersamaan dengan itu dia berkali-kali menarik nafas panjang agar terasa lebih tenang. Namun hal itu sulit Kiara dapatkan akhir-akhir ini. Tangan Kiara mulai bergetar dan nafasnya terasa sesak. Dadanya dihimpit oleh ribuan ketakutan saat ini. Hatinya tak henti-hentinya berdoa agar Ibunya diberi umur panjang. Kiara tak dapat membayangkan betapa mengerikan dan sepi hidupnya nanti tanpa kehadiran Kalingga.

Kiara tiba-tiba memeluk Kalingga yang kini sedang duduk di atas kursi rodanya. Menikmati langit malam dengan taburan bintang di angkasa melalui jendela yang terbuka. "Kenapa, Nak?"

"Ibu, jangan tinggalin Kiara." Suara Kiara bergetar mengucapkannya. Air matanya menggenang di pelupuk mata.

"Ibu akan selalu temani Kiara di tidur kamu, Nak."

Kiara menggeleng segera berucap, "Kiara mau Ibu di samping Kiara selamanya. Bukan di waktu tidur aja."

"Setiap yang bernyawa pasti akan pergi, Ki. Apa pun yang terjadi nanti Ibu mohon jangan pernah membenci Ibu."

"Ibu kok bicara gitu sih? Kiara kan sayang Ibu." Kiara semakin mengeratkan pelukannya.

"Sekolah kamu gimana, Ki? Janji ya tetap sekolah sampai tamat. Jangan kecewakan Ibu. Karena di masa depan nanti itu keras, Ki. Kamu harus punya bekal dari sekarang. Ibu gak bisa kasih lebih selain pendidikan kamu."

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang