Part 3

41.5K 2.9K 47
                                    

Naysa menatap lama pada Gama yang sedang memakai sepatunya di kamar. Di tangan Naysa bertengkar jas abu-abu yang akan Gama kenakan. Usai packing tadi Gama mengganti pakaian dan bersiap untuk berangkat ke bandara.

Sebentar lagi Gama akan pergi ke Surabaya dan entah mengapa Naysa seperti ingin menahan langkah Gama jika saja ia tidak ingat kalau kepergian Gama ini demi kepentingan perusahaan.

Ting.

Perhatian Naysa beralih pada ponselnya yang menyala. Ada pesan masuk. Memang sudah berapa kali ponsel itu bunyi tapi sengaja Naysa abaikan karena tadi sedang sibuk membantu Gama. Kata Mama Ina, Naysa harus benar-benar belajar menjadi istri yang baik untuk suaminya agar tumbuh benih-benih cinta.

Sayang, Gama udah siap? Ini udah ditungguin sama Mita di ruang tamu.

Emosi Naysa selalu terpancing mendengar nama Mita. Mengapa Gama tidak bilang jika Mita akan menjemputnya ke sini, pantas saja Gama tidak memaksanya untuk ikut mengantar ke bandara.

Iya Ma. Ini Mas Gama udah siap kok. Sebenarnya lagi kita turun ya.

Setelah mengirim pesan balasan pada ibu mertua tercinta, Naysa mendekati Gama dan memberikan jas abu-abu yang sedari tadi ia pegang. Dengan tatapan bingung pada perubahan raut wajah isterinya, Gama mengambil jas itu dan memakainya sendiri, tanpa bantuan siapa pun seperti dahulu waktu ia masih menyandang gelar bujangan.

Naysa beralih merapikan rambut dan memberi jepitan kecil di salah satu sisi rambut hitam legamnya. Selalu terlihat manis di mata Gama.

"Bisa tolong pasangin dasi aku?"

Naysa meletakkan lip tint yang baru ia oles sedikit di bibir. Tanpa menjawab ia mendekat dan memasang dasi pada kerah kemeja Gama. Tangannya terlihat terampil dengan wajah yang tertekuk. Tadi ia memang tidak memperhatikan penampilan Gama yang memang belum memakai dasi.

"Kamu kanapa?"

Pertanyaan yang sudah sejak tadi ingin Gama suarakan dan gelengan dari kepala sang istri tidak bisa ia percaya. Mengangkat sebelah tangannya untuk melihat satuan waktu sebelum perlahan Gama meraih dagu Naysa agar mereka kembali bersitatap.

"Hei ... ada apa?"

Mata Naysa tampak menyimpan sesuatu yang tidak terbaca oleh Gama. Tadi istrinya sudah mulai bersuara dan terbuka padanya tapi mengapa berubah dalam durasi yang kurang dari 10 menit? Baru saja dengan santun Naysa memberikan sepatu untuknya dan Gama tahu Naysa ingin belajar menerima kehadirannya namun mengapa secepat ini berubah? Tatapan Naysa kembali tak acuh.

"Nggak apa-apa. Di luar udah ada Mbak Mita kata bunda nungguin Mas. Ya udah kalau udah siap sekarang kita turun ya. Aku bantu bawain tas," jawab Naysa.

Gama menahan tangan Naysa yang hendak menjauh dari dadanya. Dengan sebelah tangan Gama meraih pinggang Naysa dan memeluk erat istrinya.

"Aku nggak bisa tau kamu kenapa kalau kamu nggak bilang, Nay. Aku mohon kamu ngomong kalau aku salah biar aku bisa perbaiki," bisik Gama yang menumpukan dagu di bahu Naysa.

Naysa memejamkan mata setelah meloloskan satu tetes air mata di pipinya. Gama tidak tahu itu.

"Aku ... aku mau minta sesuatu, boleh?"

Gama mengangguk dengan tangan yang masih memeluk Naysa. Mana mungkin ia menolak permintaan Naysa setelah ia tahu hatinya bahagia ada di dekat Naysa terlebih lagi ia sudah mencintai Naysa sedari dulu. Meski mungkin sekarang belum terbalas tapi Gama yakin seiring bergulirnya waktu dengan segala usaha dan perhatiannya untuk Naysa perlahan gadis ini pasti akan membuka hati untuknya.

"Kenapa enggak? Kamu minta apa pun selagi aku bisa akan aku usahakan," kata Gama masih dengan berbisik.

Naysa melonggarkan pelukan Gama. Mengambil satu langkah ke belakang agar tubuhnya dan Gama tidak terlalu menempel. Abaikan Mita yang mungkin akan lama menunggu di lantai 1, saat ini perasaannya lebih penting untuk diutamakan.

"Di Surabaya jangan dekat-dekat sama Mbak Mita ya."

Gama menatap intens mata istrinya yang kini sangat teduh. Penuh permohonan padanya. Hasratnya untuk memperjuangkan dan meraih cinta Naysa semakin berkobar mendengar kalimat yang Naysa utarakan tadi.

Tangan mungil Naysa diraihnya kemudian Gama berikan kecupan manis nan hangat di sana. Tanpa ditanya ia tau jika ada sepercik api cemburu di hati Naysa.

"Ada suaminya Mbak Mita kok. Nanti aku di sana juga pencar sama mereka," kata Gama.

Helaan lega tidak malu Naysa tunjukan. Ia mengulum senyum.

"Nanti kalau aku telepon tolong diangkat ya."

Naysa langsung mengangguk .

_____

"Ya ampun lo makin ganteng aja Ga. Kharismatik lo makin terlihat tau."

Naysa menahan nafas mendengar pujian yang Mita berikan untuk Gama, suaminya. Meskipun mereka adik kakak sepupu tapi tetap saja Naysa tidak suka. Sepupu masih bisa menikah dan Naysa akan pastikan jika suaminya bisa membentengi diri dari sepupunya yang terlihat genit ini.
Di sofa tunggal Mita duduk sendirian sedangkan di sofa panjang ada Bunda Hani. Mungkin Ayah Lukman sudah berangkat ke kantor.

Dan apa-apaan Mita datang dengan pakaian yang super ketat begitu di tubuhnya. Mereka kan mau naik pesawat menuju Surabaya. Bagaimana kalau nanti ada yang melecehkannya? Siapa yang salah? Mata yang tergoda atau Mita, si pemilik tubuh yang tanpa malu menunjukkan tubuh moleknya di hadapan orang banyak.

Gama merasakan cengkeraman tangan Naysa semakin mengerat di lengan kanannya. Seakan mengerti kegundahan hati sang istri Gama mengelus lembut tangan gadis itu dan menoleh sedikit memberikan senyuman manis pada Naysa.

"Bang Dani di mana, Mbak?" tanya Gama.

Mita tersenyum sebelum membuka bibirnya untuk menggerakkan lidah.

"Dani nggak bisa ikut, Ga. Mendadak ayah sakit jadi terpaksa Dani jagain ayah di rumah sakit," jawab Mita tanpa mengurangi senyuman di wajahnya.

"Aku ikut ke bandara," bisik Naysa sepelan mungkin pada Gama.

Hawa panas ia terima melihat tatapan aneh dari Mita untuk Gama. Meski Nayra belum cinta tapi tetap saja sebagai istri ia tidak rela suaminya didekati wanita lain.

"Mita ke bandara barengan Tante dan Kevan aja ya. Pengantin baru kayaknya mau menikmati waktu di jalan sebelum berpisah untuk beberapa hari," ujar Bunda Hani tiba-tiba.

Naysa terharu mendengarnya. Tidak menyangka ia mendapatkan mertua yang pengertian seperti ibunya Gama.
Terlihat Mita mencebik sedikit bibir sesekali matanya melirik pada tangan Gama dan Naysa yang saling menggenggam.

"I ... iya Tante."

"Emm ... Mbak Mita mau pergi langsung pergi dengan baju itu? Gimana kalau pinjem baju aku dulu? Masih ada waktu kok untuk ganti. Iya kan, Mas?" kata Nasya.

Gama mengusap rambut Naysa dan mengangguk pelan.
Semua mata mengarah pada Mita yang lagi-lagi mengangguk dengan enggan.

"Aku ambilkan bajunya dulu ya."

Naysa melepaskan tangannya dari genggaman Gama dan berlaku dengan langkah cepat menuju kamar Gama. Di otak cantiknya Naysa sudah memilih sendiri baju super tertutup yang akan ia berikan untuk dipakai Mita.

Sesekali readernnya komen dong.






Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang