Part 23

22.8K 1.2K 7
                                    

"Mukanya pada cerah banget, habis ehem ya?"

Entah sejak  kapan Kevan duduk dengan kaki kanan menduduki lutut kiri di salah satu kursi teras rumah Gama. Pria tampan yang lumayan mirip dengan Gama itu melirik menggoda pada Naysa juga kakak satu-satunya.

Naysa meringis mendengar ucapan dari adik iparnya barusan. Memberikan raut penuh aduan pada sang suami yang ditanggapi senyuman menenangkan oleh Gama. Pria berkemeja lengan pendek maroon itu semakin mengeratkan rangkulannya pada pinggang ramping sang istri.

"Iya."

Kevan yang kaget mendengarnya hingga tanpa sengaja tangannya menjatuhkan vas mini ke atas lantai. Tertebak sudah kabar kondisi selanjutnya dari vas cantik itu yang kini menjadi beberapa bagian. Ya namanya pecah belah pasti jika beradu dengan lantai akan beranak pinak.

Sedangkan Naysa langsung membulatkan mata dan menatap Gama sangar.

"Tanggung jawab lo. Itu dibersihin. Gue sama Naysa mau pergi dan nggak boleh diganggu. Awas aja kalau lo ngekor."

Kevan mencibir pelan yang hanya dia sendiri mendengar apa kata yang keluar dari bibirnya.

"Kalau mau istirahat atau masak di dalam nggak apa-apa Kevan. Tapi nanti kalau pulang tolong pintunya dikunci ya, kuncinya kasih ke Pak Udin aja," ujar Naysa.

Kevan berjalan mendekat dan menunjukkan senyum tampannya pada istri dari kakaknya itu.

"Iya Kak Nay. Siap!"

Setelahnya Gama menuntun langkah Naysa menuju mobilnya, mobil mereka lebih tepatnya. Pria itu membuka pintu dan mengecup kilas pipi sang istri setelah Naysa duduk cantik. Tidak ingin mendengar protes dari Naysa, Gama dengan cepat menutup pintu mobil.

"Mas ini Bunda telepon," kata Naysa sambil memperhatikan ponselnya.

Dengan tatapan mata yang seolah mengatakan "angkat aja" pada Naysa. Gama mulai menyalakan mobil dan melajukan untuk ke luar dari gerbang.

"Assalamualaikum, Bunda?"

Naysa mengernyit saat mendengar isakan Bunda Hani di seberang sana. Ada apa dengan mertuanya. Jari telunjuk Naysa bergerak menekan volume suara panggilan agar Gama bisa ikut mendengar. Sambil memutar setir telinga Gama fokus pada suara yang keluar dari ponsel sang istri.

"Wa'alaikumussalam. Naysa lagi sama Gama nggak, Nak?"

"Iya Bunda ini Nay lagi sama Mas Gama. Ada apa Bunda? Bunda nangis ya?"

Naysa melirik Gama yang juga menatapnya dengan raut tidak terbaca.

"Kalian ke rumah ya. Jantung ayah kumat dan Pak Sapto juga lagi pergi sama Bik Sinta. Bunda takut ayah kenapa-kenapa."

Mendengar itu Gama meraih ponsel Naysa.

"Iya Bunda. Ini aku sama Naysa ke sana. Bunda tenangin diri. Aku matikan teleponnya."

"Iya Sayang. Jangan lama ya. Ayah pingsan."

"Iya Bunda. Assalamualaikum."

Naysa mengelus bahu Gama dan memberi senyuman menangkan.

"Bantu doa ya Sayang," pinta Gama.

Naysa langsung mengangguk dan menerima ponselnya dari tangan Gama. Memasang sabuk pengaman karena tahu kali ini Gama akan ngebut.

"Ceper boleh tapi tetap hati-hati ya Mas."

_____

Naysa tidak bisa ikut berlari bersama Gama ke dalam rumah. Untuk berjalan normal saja wanita itu sulit apalagi harus mengikuti langkah cepat dan lebar Gama, sudah pasti tidak bisa.

Seperti sekarang, Gama sudah tiba di teras rumah sedangkan Naysa masih berjalan perlahan di dekat mobil. Tidak sampai tiga detik, suaminya kembali berada di sampingnya.
Menarik pelan tangannya untuk mempercepat langkah.

"Pelan-pelan Mas. Sakit," cicit Naysa sambil menunduk.

Gama mengusap wajahnya dan melepaskan tangan Naysa. Apa yang ia lakukan hampir saja menyakiti Naysa.

"Aku duluan ya. Papa lagi butuh aku."

Naysa mengangguk. Ia tahu Gama pasti khawatir dan panik. Ia juga mungkin akan seperti Gama jika terjadi sesuatu pada papanya atau orang yang ia sayangi.

"Aku buka pintu mobil aja Mas."

Gama mengecup sekilas kening Naysa. Ia tahu Naysa turut khawatir tapi bagaimana pun Gama juga tahu keadaan Naysa yang harus melangkah pelan.

"Bisa?"

"Bisa Mas."

Naysa kembali ke mobil sedangkan Gama melangkah masuk ke dalam rumah. Teryata ayah pingsan di sofa ruang tamu dengan Bunda Hani yang menangis di sampingnya.

"Kita bawa ayah ke rumah sakit, Bun."

Bunda menoleh pada pintu utama dan mengangguk. Menggeser tubuhnya agar sang putra bisa membawa sang suami ke mobil.

Gama mengusir pikiran buruk yang datang saat merasakan tangan Ayah Lukman dingin. Perlahan pria itu menatap wajah sang ayah yang matanya terpejam. Mengelus pipinya dengan sebelah tangan memeriksa denyut nadi sang ayah yang Gama tidak lagi merasakan adanya denyutan itu. Rasa takut semakin menghampirinya.

Gama masih banyak berharap semoga yang ia khawatirkan tidak benar adanya. Melihat wajah khawatir bunda, Gama tidak sanggup jika harus mengatakan jika tidak ada lagi hembusan nafas dari Ayah Lukman.

"Ayok Nak... Bunda bantu papah ayah," ujar Bunda Hani.

Karena tubuh Ayah Lukman yang lebih berisi dari tubuh Gama, maka Gama hanya bisa memapah dibantu Bunda Hani.

"Hati-hati Mas."

Naysa sempat melihat raut sedih terpancar dari ibu mertuanya. Ingin menghibur tapi ini belum waktunya karena sekarang yang lebih penting adalah membawahi Ayah Lukman ke rumah sakit dan mendapat penanganan medis. Wajah Ayah Lukman yang pucat pasi di pandangi lekat oleh Naysa. Wanita itu sampai menghadapkan wajah ke arah jok belakang.

Sambil fokus menyetir mobil. Air mata Gama menetes dan Naysa melihat itu.

"Sabar ya Yah. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit."

Suara lirih Bunda membuat Naysa ikut meneteskan air mata. Tadi Naysa sudah sempat mengabari Kevan dan sekarang bisa ia lihat mobil Kevan yang mengekor di belakang mobil suaminya. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ayah Lukman. Hanya itu yang bisa Naysa doakan di hati.

Sampai di rumah sakit. Saat Ayah Lukman sudah dibawa ke ruang UGD untuk diperiksa dokter, Bunda Hani tidak henti menangis di pelukan Naysa. Tadi Gama sempat mengirim pesan singkat pada istrinya mengenai kondisi Ayah Lukman yang sempat Gama tidak merasakan berhentinya denyut nadi membuat Naysa tidak banyak bicara yang bisa wanita itu lakukan hanya mengelus punggung ibu mertuanya.

"Keluarga pasien?"

Semua langkah mendekati pada pintu dan menatap cemas penuh tanya pada dokter yang menatap satu persatu anggota keluarga pasien yang tadi ia tangani.

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang