Part 24

20.2K 1.3K 11
                                    

Di atas karpet tebal nan lebar yang sengaja dihamparkan dalam ruang tamu rumah mewah milik keluarga bahagia ini terbaring tubuh tanpa nyawa pemilik nama Lukman Althamis Prakarsa.

Di sisi kanannya sang istri menangis tersedu dalam pelukan Naysa yang juga ikut menangis. Kevan pun dipeluk oleh Tante Linda, adik dari Lukman juga Gama dan Om Zaki yang duduk bersedih seraya membaca surah Yasin di samping kiri sang ayah yang telah pergi meninggalkan mereka. Tidak pernah terbayangkan akan seperti ini jadinya. Gama masih belum bisa percaya tapi ini kenyataan sesungguhnya.

"Bunda masih ingin ada ayah di setiap langkah hidup ini, Yah. Rasanya Bunda nggak sanggup menghadapi hidup seorang diri. Tapi semua memang harus pulang. Cepat atau lambat kembali pada-Nya adalah hal pasti."

Belahan hatinya pergi. Siapa pun tidak ingin ada di posisi ini. Di mana harus bisa melepas orang yang dicintai meski tidak mungkin secepat itu untuk ikhlas. Naysa semakin mengeratkan pelukannya di tubuh sang mertua. Melelehkan air mata sering ucapan menusuk sedih yang terlontar dari bibir Bunda.

"Terima kasih selama ini Ayah selalu jadi yang terbaik bagi bunda. Menjadi suami yang selalu Bunda rindukan di saat dekat maupun jauh. Cinta Bunda akan selalu terpatri untuk ayah. Maafkan Bunda yang belum bisa jadi istri yang baik untuk ayah."

Meski sedih dan sulit, Bunda Hani masih sadar bahwa apa yang ia serta keluarga alami juga dirasakan dirasakan oleh orang lain. Genggaman tangannya pada sang menantu semakin erat.

"Semoga Allah mengampuni Ayah dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya."

"Aamiin."

Naysa bergumam lirih. Wanita itu takjub pada ibu mertua yang tegar menghadapi musibah. Banyak yang meraung karena ditinggalkan kekasih hati tapi tidak dengan Bunda Hani. Bukan karena tidak cinta wanita paruh baya itu menahan diri untuk tidak menangis sejadi-jadinya tapi ia sadar dirinya adalah tingkat kekuatan untuk kedua anaknya. Kehilangan sang suami saja sudah membuat Kevan dan Gama merasa sedih yang tidak kepalang apalagi jika ia juga ikut tumbang karena tidak kuasa melawan kesedihan.

"Bunda ikhlas Yah dan cinta ini masih untuk ayah."

"Tenangin Gama, ya Sayang. Bunda nggak apa-apa," bisik Bunda Hani.

Tatapan Naysa berganti pada Gama yang menunduk dengan bahu bergetar. Pria yang merupakan suaminya itu masih membaca bacaan Qur'an tapi dengan suara lebih lirih. Perlahan Naysa mendekat pada Gama dan mengusap lengannya. Sang suami menoleh, meraih tangan Naysa untuk ia genggam.

"Yang kuat Mas," bisik Naysa.

Gama mengangguk dan membiarkan Naysa mengusap air mata di sudut matanya. Naysa berganti mengikuti bacaan Gama yang tadi sempat terhenti. Bersama Naysa, Gama bisa menghempaskan sedihnya. Sedih boleh tapi ia juga sadar jika ada hati yang juga tengah sedih saat ini. Mata Naysa terlihat sembab karena menangis dan Gama harus bisa menjadi penghibur bagi sang istri juga Bunda dan adiknya.

Tidak ada yang baik-baik saja saat ditinggalkan orang tersayang. Naysa yang sebagai menantu saja bisa merasakan kasih sayang dan cinta dari Ayah Lukman selama ini. Apalagi Gama dan Kevan yang merupakan darah dagingnya sendiri.

____

Serangkaian acara pengurusan terhadap jenazah Ayah Lukman terus dilaksanakan sampai di makamkan. Di atas tanah basah yang menjulang itu keluarga dari Ayah Lukman berjongkok dan memanjatkan kembali doa untuk melepaskan kepergian sang ayah. Meski tadi sudah dibacakan oleh Pak Ustadz.

"Ya Allah ridhoi suamiku untuk berada di tempat terbaik di sisi-Mu."

Setelahnya Bunda Hani mengelus lembut nisan yang tertulis nama lengkap sang suami beserta nama ayah mertuanya.

"Kita pulang yuk Mbak. Udah mau hujan," ajak Tante Linda yang berdiri di samping Kevan.

"Ayo Bunda."

Bunda Hani mengangguk dan sengaja memegang tangan Naysa untuk kembali ke mobil mereka.
Naysa tidak menolak sama sekali. Ia beri kode pada Gama minta izin untuk duduk di jok belakang bersama Bunda. Ada Kevan yang duduk di samping Gama. Sedangkan Tante Linda pulang bersama suaminya, Om Zaki.

____

"Aku bawa Bunda ke kamar dulu ya Mas. Bunda harus istirahat, mukanya juga pucat banget," kata Naysa pada Gama yang duduk di sofa dengan tatapan kosong.

Tangan wanita itu ditarik oleh Gama hingga Naysa ikut terduduk di atas sofa. Tanpa kata Gama memeluk Naysa dan mengecup keningnya lembut.

"Iya makasih Sayang. Aku titip Bunda ya."

Naysa membalas pelukan sang suami dan menepuk-nepuk punggung Gama tidak pelan.

"Iya Mas. Mas mandi ya. Bajunya udah aku siapin di kamar."

Naysa menoleh pada Kevan yang juga masih duduk bersama Afra.

"Kevan juga mandi ya. Udah mau malam."

"Iya Kak."

Afra beranjak dari duduknya melihat Naysa yang juga sudah berdiri.

"Gue ikut ke kamar Tante Hani, ya."

Setelah mendapat anggukan dari Naysa kedua wanita itu pergi meninggalkan ruang tengah.

Sampai di kamar ibu mertua, Naysa tersenyum karena melihat Bunda Hani baru saja melepas mukenanya. Sepertinya habis sholat.

"Udah pada sholat?" tanya Bunda Hani yang mereka jawab gelengan kepala.

"Kalian sholat di sini aja dulu ya. Bunda ubah nggak apa-apa kok."

"Bunda."

Naysa langsung memeluk Bunda Hani dan menangis di pelukannya.

"Bunda hebat banget. Bunda harus selalu senyum kayak gini ya."

Bunda Hani mengusap pipi Naysa lembut dengan senyum menenangkan.

"Makasih ya Sayang. Oh iya Bunda mau temui Gama sama Kevan dulu ya. Mereka pasti lagi sedih apalagi Gama yang memang lebih dekat sama almarhum ayah. Setelah sholat kamu juga datang ya. Nanti Bunda ada di taman belakang."

"Nggak papa kalau aku juga ada di sana, Bun?"

Bukan apa-apa, Naysa hanya tidak ingin menganggu ibu dan anak itu.

"Lho memangnya kenapa? Kamu juga anak Bunda. Bunda nggak pernah bedakan antara kamu dan Gama juga Kevan. Masih ragu aja bunda beneran sayang sama kamu?"

Naysa menggeleng cepat.

"Bukan gitu Bunda...."

Tangan Bunda Hani memegang bahu Naysa.

"Iya Bunda ngerti kok. Bunda keluar ya."



Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang