Part 44

3K 103 0
                                    

"Mas Gama nggak ke kantor hari ini?"

Naysa meletakkan tas kerja sang suami di atas sofa dan dengan dahi mengernyit ia dekati Gama yang masih belum berganti pakaian di samping tempat tidur.

"Mas," panggilnya pelan.

Gama tersentak kaget. Ia menghela lega melihat Naysa yang duduk di sampingnya.

"Mas kenapa? Ngelamun ya? Ngelamunin apa?" tanya Naysa.

Gama mengulas senyum dan menggeleng pelan. Ia ulurkan tangan untuk mengusap pipi Naysa dan menatap lekat mata cantik sang istri. Menatap penuh cinta mata wanita yang telah rela mau menjalani hari dengannya ini. Menatap lekat wajah wanita yang bersedia repot untuk dirinya dan wanita ini bersedia mengikutinya sebagai seorang makmum.

"Aku nggak apa-apa kok. Cuma lagi kepikiran ayah aja tadi. Ayah kan udah lama nggak ada dan aku juga udah lama nggak ke makamnya."

Naysa mengelus tangan Gama yang tengah memegang erat tangannya. Ia juga rindu pada sosok Ayah Lukman yang ia kenal baik serta berwibawa. Ayah Lukman yang juga menyayangi Naysa seperti anaknya sendiri.

"Mas kangen ya sama ayah?"

Sebenarnya tidak perlu untuk Naysa tanya itu karena ia sudah pasti tahu apa jawabannya. Gama mengangguk dengan senyuman yang masih terukir indah di bibirnya.

"Hari ini Mas nggak ke kantor?" tanya Naysa lagi.

Naysa yakin jika suaminya pasti tidak mendengar pertanyaannya tadi.

"Nggak Sayang. Hari ini aku udah janji sama Arkan mau ajak dia ke kebun binatang."

Ada saja hal-hal yang direncanakan Gama bersama Arkan dan Naysa tidak tahu. Ayah dan anak itu suka sekali merencakan sesuatu di belakang Naysa.

"Aku nggak diajak?" tanya Naysa merubah raut wajahnya membuat tangan Gama mencubit pelan pipi Naysa karena gemas.

"Diajak dong. Masa kamu nggak aku ajak. Kita perginya agak siangan aja tapi ya karena aku mau ke makam ayah dulu."

"Aku nggak diajak?"

Gemas, Gama meraih wajah Naysa untuk ia beri beberapa kali kecupan. Naysa mengerucutkan bibir.

"Ihh apa sih, Mas. Nggak perlu gitu juga kali nyiumnya."

Gama terkekeh dan mengusap rambut Naysa lembut.

"Aku sama Arkan aja yang ke makam ayah. Kamu kan harus temenin bunda ke salon."

Naysa menggeleng.

"Nggak mau Mas. Aku sama bunda ikut kamu dan Arkan. Ke salonnya besok-besok aja deh."

Semakin hari Naysa dan Bunda Hani seperti bukan menantu dan ibu mertua tapi lebih seperti sahabat yang selalu bersama. Terlebih setelah ada Arkan, Bunda Hani lebih sering tinggal di rumah Gama. Menghabiskan waktu bersama cucu dan menantu tercinta membuat Bunda Hani merasa bahagia.

"Beneran mau ikut ke makam ayah?" tanya Gama memastikan.

Naysa mengangguk dan tersenyum.

"Ya udah sekarang kamu siap-siap, sekalian siapin baju aku juga ya."

Naysa mengecup pipi Gama dan mengelusnya lembut.

"Iya tapi aku keluar dulu ya. Bilang ke bunda biar bunda juga siap-siap. Jadi nanti kita nggak nungu lama," kata Naysa.

"Iya deh terserah sayangku aja. Aku mau mandi dulu," sahut Gama.

Naysa tersenyum dan pergi ke luar kamar. untuk menemui sang mertua baik hatinya.

______

Bunda Hani mengelus nisan Almarhum Ayah Lukman dengan lembut. Gama, Naysa, dan Arkan ikut duduk dengan menumpu lutut di samping makam itu.

"Ayah yang tenang ya di sana. Bunda dan Gama juga baik-baik aja di sini. Kevan izin nggak bisa ikut datang ke sini Yah, karena lagi di luar kota."

Kevan benar-benar tumbuh menjadi lelaki dewasa yang bisa mengikuti jejak Gama. Anak kedua dari Ayah Lukman dan Bunda Hani itu sangat bisa diandalkan dalam mengelola perusahaan.

"Tapi di sini ada Gama dan Naysa, Yah. Ada cucu kita juga. Bunda bangga pada semua anak kita yang tumbuh menjadi anak baik."

Bunda Hani mengusap air matanya dimenepuk pelan punggung tangan Naysa yang dari tadi mengelus bahunya.

Di sebelah kiri makam itu Gama ikut mengelus nisan sang ayah. Pria yang sudah menjadi seorang suami dan ayah itu terisak tanpa suara. Begini rasanya merindukan seseorang yang sudah tidak bisa ditemui dan dipeluk dengan nyata.

"Terima kasih atas semua yang telah ayah berikan untuk Gama dan Kevan. Berkat didikan dan bimbingan dari ayah, Gama jadi mengerti arti bekerja keras. Ayah adalah panutan yang paling baik untuk Gama."

"Semoga Gama bisa menuntun anak-anak Gama seperti seprti ayah yang telah menuntun kami. Gama selalu berdoa untuk ayah. Gama selalu rindu pada ayah dan Gama selalu ingat pada ayah. Sampai kapan pun," ujar Gama.

Naysa tersenyum mendengar ucapan suaminya. Wanita itu berjanji di dalam hatinya untuk sebisa mungkin berusaha agar menjaga eratnya cintanya dengan Gama.

Naysa amat sangat bahagia bisa menjadi salah satu dari anggota keluarga ini. Naysa merasa beruntun bisa menjadi ibu dari cucu Ayah Lukman.

"Udah yuk kita pulang. Harinya makin panas. Kasian Arkan," kata Bunda Hani.

Naysa dan Gama mengangguk. Suami dari Naysa itu menggendong anak mereka sedangkan Naysa menuntun Bunda Hani untuk kembali ke mobil.

"Ayo Bunda," kata Naysa.

Bunda Hani tersenyum dan mengangguk.

"Makasih Sayang."

_____

Gama memeluk Naysa dari belakang saat sang istri tengah menemani putra sulung mereka bermain di taman belakang rumah.

"Mas."

Bukannya melepaskan. Naysa malah ikut menggenggam tangan Gama yang berada di atas perutnya.

"Arkan anteng banget main sama Mbak Lisa."

"Iya tuh. Dia nyuruh aku istirahat di sini. Nggak tau deh lama-lama Arkan mirip banget sama kamu, Mas," kata Naysa sambil tersenyum.

Gama mengecup bahu Naysa dan mengeratkan pelukanya.

"Anak aku harua kayak aku. Harus bisa sayang dan perhatian sama mamanya. Biar nanti dia juga bisa gitu ke istrinya," sahut Gama.

"Apaan istri-istri. Masih kecil tuh anak kamu. Masih banyak waktu sama aku. Nanti kalau udah besar dia jangan kamu ajarin pacaran ya, Mas. Biar dia jadi lelaki baik kalau suka sama anak orang suruh langsung kita lamar anaknya," kata Naysa lembut.

"Iya ibu negara. Lagian menikah tanpa pacaran juga indah kan. Nih contohnya kayak kita. Asal mau menerima dan siap memperbaiki diri. Siap terbuka untuk pasangan dan yang paling penting memang kamu jodoh aku," kata Gama.

Naysa mengamgguk dan membalikkan badannya. Meraih tangan Gama lalu ia kecup punggung tangan itu penuh kelembutan.

"Aku bahagia banget bisa hidup dan menjalani hari sama kamu, Mas. Aku nggak tau harus berbuat sebagai bukti syukur karena kamu yang menjadi sahabat di hidup aku. Makasih ya Mas," kata Naysa.

Gama tidak menjawab dan hanya mengecup kening Naysa lembut sebelum memeluk erat sang istri.

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang