Part 9

32.8K 2.2K 9
                                    

Keluar dari dalam kamar untuk menyambut kepulangan suami yang otw jadi suami tercinta bagi Naysa. Meski sudah saling lempar pesan dengan kata manis hingga kata pengakuan rindu hadir di antara keduanya, Naysa masih saja belum bisa mengartikan setiap rindu yang hadir untuk Gama itu cinta. Menimbulkan dan mengibarkan cinta tidaklah seinstan itu.

Sekarang ia hanya menyadarkan diri jika dirinya adalah seorang istri yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus berusaha menumbuhkan cinta untuk suaminya. Hanya pasangan halal yang berhak mendapatkan cinta.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai keramik putih polos yang setiap paginya dipel hingga kinclong oleh Bik Sinta membuat dada Naysa berdesir seiring langkah itu terdengar semakin mendekat. Entah Naysa yang lebih dulu sampai ke ruang tamu atau kah Gama dan Ayah Lukman, mengingat Naysa harus menuruni anak demi anak tangga yang tidak ia hitung berapa banyaknya yang jelas lebih dari 20.

Sampai pertengahan anak tangga, Naysa terkesiap melihat siapa di bawah sana. Gama dengan senyuman manisnya seperti sedang menunggu di anak tangga paling bawah. Sedikit Naysa mencondongkan tubuhnya guna melihat ada siapa saja di ruang tamu. Banyak orang dan sepertinya hanya dirinya yang belum berkumpul di sana.

Sebisa mungkin Naysa mempercepat gerakan kakinya hingga sampai di hadapan Gama. Alih-alih sang suami mengulurkan tangan dan mengajaknya ke ruang tamu, Gama malah menarik tubuh Naysa dan memeluknya erat. Dengan tubuh yang menempel Naysa bisa merasakan detakan jantung Gama. Detakan yang mengundang jantungnya untuk berdetak sama, tanpa irama dan sesukanya saja.

"I miss you," bisik Gama terdengar lembut.

Suara Naysa yang menjawab balasan rindu dari Gama tidak bisa disuarakan. Tercekat di tenggorokan. Sebagai gantinya gadis itu mengeratkan pelukannya di pinggang Gama. Menyingkirkan rasa malu untuk bersandar manja pada dada bidang pengantar tidurnya selama menjadi istri dari Gama.

"Alhamdulillah, Mas Gama pulang dengan selamat."

Bibir Gama tersenyum. Mengecup puncak kepala Naysa dengan elusan yang tidak henti di punggung sang istri. Menikah rupanya seindah ini. Sedahsyat ini ternyata pelukan istri yang mampu mengusir lelah dan penat Gama. Entah ke mana perginya rasa ingin berbaringnya tadi. Lenyap begitu saja. Gama benar-benar beruntung karena tidak mengikuti apa kata pikirannya untuk menunda melamar Naysa saat itu.
Jika itu terjadi maka sekarang bisa jadi ia memeluk guling di dalam kamar atau mengganggu kemesraan ayah dan bunda.

"Terima kasih sudah mendoakan aku selama di sana."

Dengan berat hati Naysa mengangguk. Pelukan mereka melonggar karena Naysa beringsut mundur dua langkah.

"Mas mau istirahat? Biar aku buatkan teh ya," kata Naysa penuh perhatian.

Pesan Mama Ina sebelum berangkat ke London kemarin ya begini. Harus bisa melayani suami. Mata Naysa tidak buta setiap kali melihat adegan romantis orangtuanya terlihat di depan matanya sepertinya harus ia tiru.

"Boleh ... tapi kita ruang tengah dulu aja ya, nggak enak sama bunda."

Naysa mengangguk.

Dengan senyum malu gadis itu melingkarkan tangannya pada lengan kanan Gama untuk melangkah bersama ke ruang tengah.

"Eh ... kirain langsung lepas rindu di kamar."

Kevan bangun dari posisi tidurannya dan bersandar pada kaki sofa dengan kedua tungkai terkapar kasian di lantai berlapis karpet tebal.

"Apa sih lo?" sahut Gama.

Pria itu menuntun Naysa menduduki satu sofa panjang untuk berdua.

"Apa aja deh yang penting kalian jangan lupa ehem-ehem biar nggak berduaan terus."

Entah apa maksudnya, Naysa pura-pura tidak tahu saja. Gadis itu memilih membantu membebaskan tubuh Gama dari jas hitamnya.

"Aku buatin teh ya," bisik Naysa.

Gama malah merebahkan kepala pada bahu Naysa. Layaknya sedang bermanja. Tidak ada pilihan lain bagi Naysa selain mengusap pipi hingga rahang tegas Gama.

"Nanti aja Nay. Aku mau kayak gini dulu."

Kelakuan Gama yang terlihat berbeda itu tidak luput dari sorotan orang tuanya.
Ayah Lukman tersenyum melihat Naysa yang sedikit-sedikit meliriknya.

"Emm ... Ayah dengar dari bunda katanya kalau Naysa pinter masak ya? Kapan-kapan Ayah mau ya dimasakin sama Naysa," ujar Ayah Lukman.

Naysa merasakan tangannya semakin digenggam erat oleh Gama. Apalagi ya sifat atau kelakuannya yang telah Bunda Hani laporkan pada Ayah Lukman. Selama Naysa tidak melakukan kesalahan berarti ia tidak perlu panik. Kecuali jika Bunda Hani seorang wanita yang suka julid dan gemar merangkai kata bohong. Ah ... syukurlah ia diberi mertua baik.

"Boleh Yah. Tapi lebih enak masakan Bunda, kok."

Naysa memberikan senyuman manis pada kedua mertuanya. Jika diperhatikan pasti ayah dan ibu mertuanya ini dulunya cantik dan tampan, pas masih muda karena Gama Menuruni garis wajah keduanya. Naysa banyak bersyukur karena orangtua Gama tidak menolaknya saat pertama kali ditunjukkan melalui foto bahwa dirinya adalah calon menantu mereka. Naysa sadar diri dia tidak secantik wanita-wanita yang sampai sekarang masih sering mendekati Gama.

"Mas Gama juga katanya nggak ada yang bisa mengalahkan enaknya masakan Bunda. Masya Allah semoga nanti Naysa bisa belajar masak dari Bunda," ujar Naysa lagi.

Bunda Hani melirik gemas pada Gama yang diam saja sambil menatap penuh minat pada menantunya. Rindukah? Ini bukan pertanyaan sepertinya. Meski sudah menikah hampir 30 tahun dengan Ayah Lukman nyatanya Bunda Hani juga masih sering menaruh rindu jika saling berjauhan raga. Rahasia awetnya pernikahan mereka salah satunya ada pada rasa saling rindu.

"Selama tinggal di rumah baru, yang masakin siapa?"

Gama mengerjapkan mata saat tangan telunjuk Naysa terasa bergerak di punggung tangannya. Menyadarkan pria itu dari lamunan dadakannya.

"Naysa dong Yah, yang masak. Ayah kalau coba makan masakan Naysa dijamin pasti nagih deh," jawab Gama memuji tulus sang istri.

"Oh ya? Kalau sama masakan Bunda? Masakan Bunda tu nggak ada duanya, lho Ga."

Gama menggeleng tegas.
"Cuma Naysa yang udah bisa balap masakan Bunda. Masakan Naysa itu selain enak juga terasa banget ada ketulusan di dalamnya."

Halah... Gama suka lebay dalam memuji kali ini.
Memangnya selama ini Bunda masak tanpa adanya rasa tulus? Itu sih kata yang Naysa pikir akan keluar dari bibir ibu mertua. Tapi ....

"Alhamdulillah ... kalau gitu Bunda udah bisa masak sedikit. Nggak perlu mikirin kamu lagi yang bakal kelaparan karena sudah ada Naysa. Kalian benar-benar berjodoh," sahut Bunda cepat.

Pipi Naysa tentu saja bersemu indah. Matanya menatap dalam manik mata Gama. Jarak wajah mereka semakin menipis terlebih sekarang ujung hidung mereka saling menyapa, bersentuhan. Telapak tangan Naysa yang berada di genggaman Gama terasa dingin. Tubun waanita itu kaku terlebih saat Gama menyatukan kening mereka.

"Ehem."

"Kita ke kamar yuk Yah. Biar ganti baju sama sekalian istirahat."

"Aku izin ke rumah Edo ya Bun."

Naysa semakin bersemu melihat punggung Bunda dan Ayah yang semakin menjauh. Tengah mengatur rasa malunya yang tak kunjung reda, Naysa menoleh pada Gama yang kini mengernyit, menatap ponsel.

"Ada apa Mas?" tanya Naysa.

Ada raut panik di wajah Gama.

"Kita pulang sekarang aja ya. Ini penting," kata Gama.

Hah kok pulang?
Komen dan vote ya.


Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang