Part 22

26.4K 1.4K 22
                                    

Kegiatan berpahala nan berpeluh mesra yang mereka lakukan tadi malam nyatanya membuat tidur keduanya lebih dari kata lelap dengan bibir melengkungkan senyuman. Dua jiwa yang tengah merasakan indahnya awal pernikahan itu terusik dari tidur lelap mereka karena suara adzan dari masjid komplek.

"Sholat dulu yuk," bisik Gama.

Naysa mengangguk dan membiarkan Gama untuk bangun lebih dulu. Mandi bersama kemudian wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Setelah sholat, Naysa duduk di depan meja rias dan memperhatikan area leher sampai dada bagian atasnya yang tidak tertutupi daster. Bibir wanita cantik itu tersenyum malu mengingat apa yang sudah ia dan Gama lakukan tadi malam. Berbagi kasih dengan suka sama suka adalah hal indah yang baru kali ini ia rasakan.

"Aku lupa ternyata ini hari Jum'at."

Gama membungkukkan badannya dan memeluk leher Naysa sambil menatap dalam mata sang istri di pantulan cermin. Rambut Naysa dan dirinya masih basah. Wajah Gama di tatap lekat oleh Naysa meski dari pantulan cermin. Semua sudah tidak lagi sama sejak tadi malam. Ia sudah memberikan segalanya pada Gama sebagai bentuk wajarnya seorang istri.

"Kalau hari Jum'at kenapa, Mas? Mas ada acara?" tanya Naysa.

Gama menggeleng pelan dan mencium lembut bahu Naysa sebelum meletakkan dagunya di sana.

"Aku izin nggak ke kantor, boleh?"

Naysa mengerutkan dahinya yang langsung diusap Gama begitu saja.

"Kalau mau libur kenapa harus izin dulu?" tanya Naysa lagi.

"Ya nggak apa-apa. Kali aja kamu maunya aku kerja terus. Biar makin kaya."

Jawaban Gama dibalas ciuman singkat di pipi kiri pria itu oleh Naysa.

"Malahan aku pingin seharian ini sama Mas Gama. Aku nggak ada kelas hari ini, Mas."

Harusnya pasangan pengantin baru ini sedang honeymoon di sebuah tempat tapi lagi-lagi karena tuntutan pekerjaan juga kuliah mereka hanya bisa menjalani honeymoon di rumah.

"Jalan-jalan mau?"

Naysa mengangguk.

"Ke pantai ya Mas. Aku suka pantai."

Gama mengelus rambut Naysa sambil mengangguk.
"Tapi sekali lagi, ya."

Belum sempat Naysa menolak Gama sudah lebih dulu mengangkat tubuh sang istri ke atas ranjang. Bercinta di pagi sepertinya bukan hal buruk.

"Mas selimutnya," cicit Naysa saat baru menyadari jika mereka melakukan penyatuan di atas selimut.

"Spreinya belum diganti, Yang."

Pipi Naysa kembali merona. Noda merah itu pasti terlihat jelas di sprei mereka yang berwarna biru muda, warna kesukaan Naysa. Lagian mengapa ia bisa lupa untuk segera menggantinya tadi.

Tuntas hasrat cinta yang sebenarnya masih terus menggelora setiap di samping Naysa. Gama cukup banyak bersyukur karena apa yang selama ini dibutuhkan sudah ada di depan mata. Naysa siap menjalani kegiatan indah itu kapan pun mereka mau. Menjalaninya dengan penuh cinta.

Untuk kedua kalinya di pagi Jum'at ini  mereka mandi bersama lagi. Mengeratkan cinta di mana pun mereka berada. Yang ada dalam benak keduanya adalah membangun cinta.

"Yakin bisa ke pantai? Nggak sakit emangnya?"

Naysa memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Pertanyaan Hana berhasil membuat seburat merah muda muncul di pipi yang baru ia beri sapuan bedak tipis. Usai mandi tadi, Gama lebih cepat selesai memakai baju, merapikan rambut dan menyemprotkan parfum ke bagian-bagian pakaiannya. Sedangkan Naysa kelamaan mengeringkan rambut.

"Bisa Mas. Asal jangan diajak lari-larian... Eh itu spreinya mau di kemanain?"

Dari pantulan cermin Naysa melihat Gama menggulung sprei biru muda sekalian dengan selimut. Pagi ini yang mengganti sprei kasur mereka dilakukan oleh Gama. Meski seorang pria tapi sedikit pun Gama tidak terlihat canggung sewaktu menarik sprei lama dari kasur dan menggantikan dengan yang baru.

"Mau diantar ke belakang Sayang. Nanti katanya Bik Tia datang dan ini biar dicuci sama dia," jawab Gama.

Dengan secepat kilat Naysa meraih buntelan selimut dan sprei itu untuk ia dekap. Gama menatapnya dengan halus yang terangkat.

"Jangan Mas ... ini biar aku aja nanti yang cuci. Malu tau," kata Naysa.

"Apaan malu-malu. Bik Tia juga udah pernah nikah dan tau kok urusan suami istri."

"Ya tapi nggak kasih ke orang lain juga dong sprei bekas belah duren tadi malam."

Gama menghela dan mengambil lagu selimut dan sprei itu dari tangan sang istri. Meletakkan pada pinggir sofa.

"Ya udah kalau memang malu biar aku aja nanti yang cuci. Itu rambutnya mau diapain?" tanya Gama lagi.

Naysa mengedikkan bahu dan kembali ke meja rias dengan lsngsang pendek. Bagian bawahnya masih nyeri untuk dibawa jalan dan rasanya aneh.

"Sini."

Naysa tidak pernah bermimpi akan menjadi istri seorang Gama. Gama yang ringannya mau membantu istri dalam urusan masak, merapikan tempat tidur dan tadi katanya akan mencuci sprei kasur mereka. Kurang beruntung apa lagi menjadi Naysa?

"Habis ini kita makan di luar, Mas?"

Gama menggeleng. Ia kecup ubun-ubun Naysa setelah mengikat rambut istrinya dengan rapi.

"Iya. Atau mau aku yang masak? Kamunys jangan banyak gerak dulu. Itu pasti ngilu banget kan?"

Tubuh Naysa sudah dipeluk dari belakang oleh Gama.

"Aku nyakitin kamu ya? Maaf. Tapi kamu harus percaya kalau aku beneran cinta sama kamu, Nay. Maaf kalau harus menyakiti kamu tadi malam," bisik Gama lagi.

Desiran aneh itu menghampiri Naysa lagi. Ucapan Gama benar-benar menembus relung hatinya. Bukankah memang seperti itu yang semua pasangan rasakan? Siap dicintai artinya siap sakit di awal waktu. Jika rasa sakit malam pertama adalah bukti cinta maka Naysa rela sakit lagi asal Gama pelakunya.

"Aku menikmati rasa sakit itu, Mas. Tapi aku boleh minta sesuatu nggak sama Mas?"

Gama mengangguk. Tubuh Nasya sudah berhadapan dengan Gama. Pinggangnya tidak bisa mengelak saat tangan sang suami melingkar indah di sana dan matanya tidak bisa teralih saat tatapannya dikunci oleh Gama.

"Jangan pernah cari kenyamanan pada wanita mana pun selain aku ya, Mas. Jangan pernah berikan apa yang udah Mas beri ke aku. Aku siap untuk menjalani peran baik seorang istri bagi Mas."

Permintaan Naysa membuat Gama langsung memeluk wanita itu erat. Sesuai yang Naysa katakan saat ia di Surabaya dulu, Naysa siap melayani Gama jika sudah pulang nanti dan itu terbukti dengan sang istri tidak mengelak keinginannya.

"Wanita seperti apa yang harus aku cari? Kamu udah lebih cukup untuk aku Nay. Ingatkan aku kalau nanti aku menyakiti kamu melebihi tadi malam," ujar Gama.

"Kalau aku hamil dan melahirkan itu rasanya sakit banget lho Mas."

"Ya udah nggak usah punya anak. Biar nggak sakit."

Naysa terbahak dan memukul bahu Gama.

"Kalau udah melahirkan nanti itunya juga longgar. Bisa-bisanya Mas nggak suka lagi."

Gama menggigit daun telinga Naysa.

"Semasih itu kamu, meski pun longgar aku tetap suka."

"Mas Gama mesummm, ih."

Dalam Sentuhan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang