Pukul 09.15 Naysa dan Gama belum ada yang menyapa tempat tidur untuk istirahat. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing di mana Naysa duduk santai di sofa dengan memangku laptop. Tugas kuliah yang minta untuk segera dikerjakan tidak main banyaknya. Atensi Naysa sepenuhnya pada laptop dan beberapa lembar kertas yang tergeletak sesukanya di badan sofa.
Begitu pun Gama. Pria tampan berkaos putih polos itu duduk di depan meja serbaguna yang sengaja diletakkan di dekat lemari kamar mereka. Ada satu lemari besar yang memuat banyak isi di dalamnya. Untuk pakaian Naysa dan Gama. Biar saja untuk sementara ini di aduk dulu pakaian mereka dalam satu lemari, kapan nanti jika ada waktu Gama dan Naysa akan menambah lemari baru lagi di kamar mereka. Pindah ke sini Gama hanya membeli perabot rumah yang benar-benar penting dulu. Sembari meniti kisah kasih ia yakin barang-barang di dalam rumah akan bertambah sesuai kebutuhan. Bahkan masih ada kamar yang kosong melompong.
Gama pun sibuk mengamati laptop, aa yang ia lakukan jika bukan kerjaan kantor yang sebenarnya hanya perlu diperiksa olehnya. Usai makan malam bersama Mita dan Nisa dua sejoli itu langsung masuk kamar. Layaknya pasangan pada umumnya, Gama langsung mengunci pintu meski tidak tentu mereka akan ehem-ehem tapi semenjak menikah ia lebih suka mengunci pintu kamar jika berdua saja dengan sang istri. Jaga-jaga saja jika nanti ia khilaf.
"Hp kamu bunyi, Yang."
Gama sudah menguasai lidahnya untuk memanggil sayang atau panggilan manis lainnya pada Naysa dan telinga Naysa juga sudah terbiasa disapa dengan panggilan yang membuat dadanya berdesir oleh suara Gama.
"Coba tolong angkat aja, Mas. Mungkin Afra," ujar Naysa tanpa menoleh dari laptop.
Karena memang ponsel Naysa ada di meja yang Gama gunakan untuk bekerja, tidak membuat pria itu menolak untuk meraih benda pipih kesayangan istrinya.
"Kalau mati coba cek whatsapp aja Mas. Siapa tau Afra ada chat juga."
Permintaan susulan dari Naysa, Gama jawab tanpa kata. Ibu jari Gama menggeser layar ponsel ke arah whatsapp sang istri yang pesannya ribuan. Pasti lebih banyak obrolan di group chat. Dahi Gama mengernyit sesaat sebelum sebisanya ia menormalkan raut wajah saat melihat pesan teratas yang masuk ke nomor istrinya. Dan yang membuat Gama menarik nafas dalam saat tahu yang tadi menelpon sang istri bukanlah Afra, tapi sebuah nama yang ia yakin pemiliknya dari kaum adam.
Sudah ada izin dari Naysa dan Gama tidak sungkan membaca satu persatu chat yang masih nangkring di room chat Naysa dengan si pengirim. Sumber sakit hati sudah terlanjur ia intip. Kepalang tanggung untuk tidak dilanjutkan toh hati Gama sudah berdenyut nyeri. Sesekali matanya melirik Naysa yang masih serius pada laptopnya. Sementara laptop Gama sengaja ia matikan. Pekara rumah tangga lebih utama baginya dan urusan kantor bisa ia lemparkan dengan sesukanya pada Rosa, si sekretaris setia.
"Nih hpnya."
Naysa mendongak saat Gama berdiri tepat di depannya sambil menyodorkan ponsel. Mencondongkan kepala sedikit mengintip ke arah meja di balik punggung Gama dan ternyata pria itu sudah menyelesaikan kerjaannya. Yah... ia kalah cepat rupanya padahal Naysa ingin segera menyapa tempat tidur dan memejamkan mata. Meluruskan punggung. Lelah sekali hari ini.
"Eh, kok?"
Tanpa kata setelah ia menerima ponsel itu Gama langsung melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkannya tanpa senyuman, tanpa kata manis manja. Entah mengapa Naysa merasakan sesuatu menyentil hatinya. Bukannya kenapa, tapi Naysa terbiasa dengan sikap dan sifat manis Gama. Tanpa sadar Naysa menghela nafas panjang dengan bahu merosot dan bersandar pada lengan sofa. Menatap tanpa minat laptopnya.
"Apa lagi marah ya? Tapi kenapa?" gumam Naysa terdengar lirih.
Benda pipih yang kini menyala membuat Naysa menyentuh si ponsel. Bibir bawahnya ia gigit sambil menyentuh terus layar ponsel. Dari sini Naysa tahu akan perubahan sikap Gama. Apa mau dikata karena tadi ia sendiri yang meminta pertolongan pada Gama untuk membuka benda rahasianya ini. Banyak pesan dari kaum adam yang ia anggap teman menghamburkan rayuan manis padanya baik di dalam chat group maupun chat pribadi. Pastilah Gama tidak suka dan marah orang yang dicintainya ternyata banyak yang suka dan parahnya lagi kadang Naysa membalas gombalan teman-temannya sebagai bahan gurauan semata.
"Setidaknya jangan biarkan suami tidur dalam keadaan marah padamu."
Pesan Mama Ina seakan berbisik di telinga Naysa. Gadis itu bangun dan mematikan laptopnya. Beralih mendekati lemari pakaian untuk menyiapkan baju tidur Gama sekalian mengambil gaun tidurnya.
____
"Tangannya."
Gama berusaha menyingkirkan tangan kanan Naysa dari pinggangnya. Setelah sama-sama naik ke atas tempat tidur Gama memang tidak berujar apa pun. Dengan alasan kantuk mendera Gama berbaring memunggungi Naysa. Ini pertama kalinya ia lakukan itu mengingat setelah menikah dan tidur di ranjang yang sama Gama selalu menunggu Naysa memejamkan mata dengan tatapan lembut.
"Mas nggak mau peluk aku?"
Tidak ada jawaban karena Gama tetap bungkam. Mengangguk dan menggeleng pun tidak.
Naysa tersenyum getir dan semakin mengeratkan lingkaran tangannya di tubuh Gama. Mana pernah begini. Biasanya Naysa yang selalu didekap meski jarang ia balas. Jadi begini rasanya pelukannya tak terbalas."Mas."
Naysa terus memanggil Gama. Ia tahu pria ini belum terlelap.
"Suamiku."
Tetap tidak ada respon. Tapi Naysa tidak akan menyerah.
"Mas Gama."
Kali ini Naysa mendekatkan tubuhnya pada Gama. Sengaja ia angkat bagian dada agar melekat pada tubuh suaminya. Menjadikan bahu kokoh Gama sebagai bantalan bagi kepalanya. Mencari perhatian seorang Gama butuh perjuangan juga teman-teman!
"Ck tidur Naysa ini udah malam," kata Gama sedikit pun bergerak dari posisinya.
Naysa memejamkan mata dan menggeleng pelan. Ia tahu ia salah tapi apa harus seperti ini cara Gama menghukumnya?
"Aku nggak bisa tidur sebelum Mas maafin aku."
Tubuh Gama memegang mendengar penuturan Naysa yang terdengar lirih. Ia tidak marah, Gama hanya sedikit kecewa pada dirinya sendiri karena kurang usaha untuk mengalihkan perhatian Naysa. Perjuangan bagaimana lagi yang harus ia tempuh agar istrinya tidak sungkan merepotkan dirinya dalam segala hal. Tidakkah Naysa tahu jika Gama akan dengan senang melakukan apa pun itu untuknya. Mengapa Naysa harus meminta bantuan pada teman lelakinya setelah adanya Gama yang ditetapkan sebagai teman perjuangan Naysa untuk menjalani hari.
"Aku pun udah terbiasa tidur nyaman di pelukan Mas Gama."
Sudah, Gama tidak tahan terus mendiamkan sang istri. Dengan gerakan perlahan ia membalik tubuh dengan Naysa yang jatuh ke dalam pelukannya karena gadis itu tidak bangun sama sekali.
"Maafin aku Mas. Izinkan aku tidur tenang malam ini."
Gama mengangguk dan mengecup puncak kepala Naysa. Wangi shampoo dari setiap helai rambut Naysa membuat Gama enggan melepaskan Naysa dari pelukannya.
"Kita bicara sebentar ya?"
Bibir Naysa merekah senyum. Langsung ia lingkarkan tangannya pada leher Gama yang sekarang tidak lagi menumpu pada bantal melainkan pada salah satu tangannya.
"Setelah itu aku boleh tidur di pelukan Mas?" tanya Naysa dengan pipi bersemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sentuhan Cinta
RomanceGama itu ganteng, baik, pinter masak, dan kaya raya. Apalagi alasan Naysa untuk tidak jatuh cinta? Diam-diam Naysa tidak bisa menolak rasa nyaman yang ditawarkan oleh pelukan Gama. Ingin didekap terus untuk hari ini, esok, dan nanti.